TAUHID DAN BAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA, DUA
SAYAP YANG HARUS SALING BERSANDING
Hak kedua orang tua atas anak-anak mereka
sangat agung. Karena itu, Allah menyandingkan perintah untuk beribadah
kepadaNya dengan keharusan berbakti kepada mereka berdua. Allah berfirman:
"Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu." [Al Isra`: 23].
Lantaran begitu tingginya hak mereka, Allah
memerintahkan kita untuk selalu menyuguhkan kebaikan kepada mereka dan
berinteraksi dengan mereka dengan sikap yang ma'ruf (pantas). Kendatipun mereka
dalam kungkungan kekafiran. Sekalipun mereka memaksamu, wahai sang anak, untuk
menyekutukan Allah dengan obyek yang tidak jelas kedudukannya. Allah berfirman:
"Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentangnya,
maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergauilah kedunya dengan
baik". [Luqman: 15].
Saking besarnya martabat mereka dipandang
dari kacamata syari'at, Nabi mengutamakan bakti kepada mereka atas jihad fi
sabilillah. Ibnu Mas'ud berkata:
"Aku pernah bertanya kepada
Rasulullah,"Amalan apakah yang paling dicintai Allah?" Beliau
menjawab,"Mendirikan shalat pada waktunya." Aku bertanya
kembali,"Kemudian apa?" Jawab Beliau,"Berbakti kepada ke orang
tua," lanjut Beliau. Aku bertanya lagi,"Kemudian?" Beliau
menjawab,"Jihad di jalan Allah." [HR Bukhari no. 5.970].
Perlu dipahami, perintah berbakti kepada
Allah merupakan titah ilahi yang sudah berlaku pada umat sebelumnya. Allah
berfirman:
"Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji
dari Bani Israil (yaitu): "Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan
berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim dan orang
miskin…" [Al Baqarah:83].
Demikian juga Allah menyanjung para nabi
karena telah berbuat baik dengan baktinya kepada orang tua. Secara khusus,
Allah menyebut nama Nabi Yahya atas baktinya kepada kedua orang tuanya yang
telah tua renta. Dan bakti akan bernilai lebih tinggi, tatkala dilaksanakan
dalam waktu yang dibutuhkan. Masa tua dengan segala problematikanya adalah masa
yang sangat membutuhkan perhatian ekstra, terutama dari orang terdekat,
anak-anaknya. Allah berfirman:
"Dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya
dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka. "[Maryam:14].
Begitu pula Allah memuji Nabi Isa, lantaran
beliau telah melayani sang ibu dengan sepenuh hati, dan bahkan merasa mendapat
kehormatan dengan sikapnya itu. Allah berfirman:
"Dan berbakti kepada ibuku dan Dia (Allah)
tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka." [Maryam:32].
NILAI POSITIF BAKTI KEPADA ORANG TUA
Berbakti kepada orang tua, akan melahirkan
banyak kebaikan; terangkatnya musibah, lenyapnya masalah dan kesedihan. Sebagai
bukti konkretnya, yaitu kisah tiga orang yang terperangkap di sebuah goa sempit
karena sebongkah batu besar menutupi mulut goa. Mereka berdo'a dan bertawasul
dengan amal shalih yang pernah mereka kerjakan. Salah seorang di antara tiga
orang itu, bertawassul dengan baktinya kepada kedua orang tua. Dia memanjatkan
do'a kepada Allah, dengan lantaran baktinya tersebut, hingga akhirnya menjadi
sebab sirnanya kesengsaraan yang menghimpit. Dalam kisah nyata ini, seorang
mukmin meyakini bahwa bakti kepada orang tua, menjadi salah satu faktor
hilangnya musibah.
Berbakti kepada orang tua juga akan
menggoreskan kenangan kebaikan di benak anak-anaknya. Sehingga anak-anak juga
akan menjadi insan-insan yang berbakti kepadanya, sebagai balasan baik dari
budinya kepada ayah bundanya dahulu. Sebab, al jaza` min jinsil 'amal, balasan
yang diterima oleh seseorang sejenis dengan apa yang dahulu pernah ia kerjakan.
Sedangkan balasan akhiratnya, ialah syurga,
yang luasnya seluas langit dan bumi. Dikisahkan dari Mua'wiyah bin Jahimah, ia
bercerita: "Aku bersama Nabi untuk meminta pertimbangan dalam berjihad. Maka
Beliau bertanya,"Apakah kedua orang tuamu masih hidup?" Aku
jawab,"Ya (masih hidup)!" Beliau berkata,"Temanilah mereka
berdua. Sesungguhnya syurga berada di bawah telapak kaki keduanya."
[Shahih At Targhib Wat Tarhib].
KEHARUSAN BERBAKTI KEPADA ORANG TUA SEPANJANG
MASA
Bagaimana saya harus berbakti kepada orang
tua? Mungkin pertanyaan ini pernah mengganggu dan membingungkan kita. Dalam
masalah ini, sebenarnya Al Quran telah memaparkannya secara gamblang melalui
ayat (artinya): "Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua". [Al
Isra`: 23].
Saat menafsirkan ayat di atas, Syaikh As
Sa'di menyatakan: "Berbuat baiklah kepada mereka berdua dengan seluruh
jenis kebaikan, baik dengan ucapan maupun tindakan". Pasalnya, perintah
dalam ayat itu dengan kalimat yang menunjukkan keumuman, sehingga mencakup
seluruh jenis kebaikan, disenangi anak ataupun tidak, tanpa perdebatan,
membantah atau berat hati. Perkara ini harus benar-benar diperhatikan. Sebab,
sebagian orang melalaikannya. Mereka mengira, berbakti kepada orang tua hanya
terbatas dengan melakukan apa yang disenangi anak saja. Padahal, hakikat
berbakti tidak sekadar seperti itu. Bakti yang sejati tercermin dengan ketaatan
anak kepada perintah orang tua meskipun tidak sejalan dengan keinginan sang
anak.
Termasuk amalan yang
baik buat orang tua, yaitu mendakwahi mereka agar masuk Islam atau mendakwahi
mereka kepada ketaatan dan meninggalkan maksiat. Inilah kebaikan yang tertinggi nilainya. Sebab, ajakan
ini akan menyelamatkan mereka dari siksa Allah. Meski demikian, semestinya
harus dengan cara lembut dan santun, sebagaimana diceritakan Allah tentang Nabi
Ibrahim ketika mendakwahi ayahnya.
Bakti Nabi Ibrahim
kepada ayahnya telah sampai titik klimaks. Ayahnya diseru menuju syurga, namun
sang ayah justru menyerunya menuju neraka. Nabi Ibrahim mendakwahi ayahnya agar
beribadah kepada Allah semata, justru ia mendakwahi supaya Nabi Ibrahim
menyembah berhala-berhala. Sang bapak marah dan mengancam seperti dikisahkan
Allah Ta'ala, (artinya): "Apakah engkau benci kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim.
Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan kurajam. Dan tinggalkanlah aku buat
waktu yang lama. (Maryam:46). Nabi Ibrahim meresponnya secara lemah-lembut
dengan berkata sebagaimana dalam ayat, (artinya): Ibrahim berkata: "Semoga
keselamatan bersamamu. Aku akan memohonkan ampun kepada Rabb-ku untukmu".
[Maryam: 47].
Allah membalas sikap
luhurnya kepada ayah dengan karunia anak, Isma'il yang sangat taat kepada orang
tuanya, meskipun harus mempertaruhkan nyawanya dalam kisah penyembelihan yang
sudah kita ketahui bersama.
Berbakti kepada orang
tua tidak berhenti, meskipun kematian telah menjemput mereka. Masih ada sekian
banyak cara yang harus ditempuh untuk meneruskan bakti kepada orang tua yang
sudah tiada. Dasarnya, yaitu hadits Anas bin Malik As Sa'idi, ia berkata:
Saat aku duduk bersama
Rasulullah, tiba-tiba ada seorang lelaki dari kaum Anshar yang datang dan
bertanya: "Wahai, Rasulullah! Apakah masih ada (perkara) yang tersisa yang
menjadi tanggung jawabku berkaitan dengan bakti kepada orang tuaku setelah
mereka berdua meninggal yang masih bisa aku lakukan?" Nabi menjawab:
"Betul. (Yaitu) ada empat hal: engkau do'akan dan mintakan ampunan bagi
mereka, melaksanakan janji mereka, serta memuliakan sahabat-sahabat mereka,
juga menyambung tali silaturahmi dengan orang yang ada hubungannya dengan ayah
ibu. Inilah (kewajiban) yang masih tersisa dalam berbakti kepada orang tuamu
setelah mereka meninggal". [HR Abu Dawud dan Ahmad].
Karena itu, Allah meninggikan
kedudukan orang tua lantaran istighfar anak buat mereka. Terlah diriwayatkan
dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Ada seorang lelaki yang
kedudukannya terangkat di syurga kelak." Ia pun bertanya,"Bagaimana
ini?" Maka dijawab: "Lantaran istighfar anakmu.
IBUMU, BERILAH PERHATIAN
LEBIH!
Seorang ibu menempati
kedudukan yang tinggi dalam Islam, bahkan berbanding tiga dari kedudukan sang
ayah. Dalam suatu riwayat disebutkan ada sahabat yang bertanya kepada Nabi:
Wahai Rasulullah, Siapa
orang yang harus aku berbakti kepadanya?" Beliau
menjawab,"Ibumu." Aku bertanya lagi,"Kemudian siapa?"
Beliau menjawab,"Ibumu." Aku bertanya,"Kemudian siapa?"
Beliau menjawab,"Ibumu." Aku bertanya,"Kemudian siapa?"
Beliau menjawab,"Ayahmu." [HR Bukhari no. 5.971].
'Atha bin Yasar
meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, bahwa ada lelaki yang mengadukan: "Aku
meminang wanita, tetapi ia menolakku. Dan ada lelaki lain meminangnya, dan
wanita itu menginginkannya. Aku pun cemburu, dan aku bunuh dia. Apakah aku
masih punya kesempatan bertaubat?" Ibnu 'Abbas bertanya: "Apakah
ibumu masih hidup?" Jawabnya,"Tidak." (Ibnu Abbas pun berkata):
"Kalau begitu, bertaubatlah kepada Allah dan berbuat baiklah
sebisamu." Aku bertanya kepada
'Ibnu 'Abbas : "Mengapa engkau bertanya tentang ibunya?" Ia
menjawab,"Aku tidak mengetahui ada amalan yang lebih mendekatkan diri
kepada Allah melebihi bakti kepada ibu." [Shahihah, 2.799].
Seorang wanita atau
ibu, lantaran beratnya kehidupan yang ia jalani bersama anaknya, sejak berada di
rahimnya sampai sang anak tumbuh menjadi manusia remaja. Ditambah lagi, wanita
mempunyai perasaan yang sangat sensitif dibandingkan sang ayah, maka kondisi
ini menuntut komunikasi dengan tutur kata yang baik demi terjaganya perasaan
sang ibu. Oleh karenanya, perhatian secara khusus sudah sepantasnya diberikan
kepada seorang sang ibu.
ANCAMAN DURHAKA
KEPADA ORANG TUA
Wahai saudaraku,
Rasulullah menghubungkan kedurhakaan kepada kedua orang tua dengan berbuat
syirik kepada Allah. Dalam hadits Abi Bakrah, Beliau bersabda:
"Maukah kalian aku
beritahukan dosa yang paling besar?" Para sahabat
menjawab,"Tentu." Nabi bersabda,"(Yaitu) berbuat syirik, durhaka
kepada orang tua." [HR Bukhari no. 5.975].
Dalam sebuah hadits,
Rasulullah memberikan peringatan: "Setiap dosa, Allah akan menunda
(hukumannya) sesuai dengan kehendakNya pada hari Kiamat, kecuali durhaka kepada
orang tua. Sesungguhnya orangnya akan dipercepat (hukumannya sebelum hari
Kiamat)." [HR Bukhari]
Membuat menangis
orang tua juga terhitung sebagai perbuatan durhaka. Tangisan mereka berarti
terkoyaknya hati, oleh polah sang anak.
Ibnu 'Umar pernah
menegaskan: "Tangisan kedua orang tua termasuk kedurhakaan dan dosa
besar". [HR Bukhari, Adabul Mufrad hlm. 31. Lihat Ash Shahihah, 2.898].
Bagaimana tidak disebut
sebagai kedurhakaan? Bukankah ucapan "uh" atau "ah"
dilarang dilontarkan kepada mereka berdua? Allah berfirman, (artinya): "Jika
salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan "ahh" dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia." (Al Isra`: 23). Maksudnya, seperti
dipaparkan Ibnu Katsir, jika mereka telah memasuki usia saat kekuataan melemah
dan memerlukan perlakuan yang baik, maka janganlah kamu mengatakan kepada
mereka "ah". Ini adalah sikap menyakitkan yang paling ringan, sebagai
petunjuk atas sikap menyakiti lainnya yang lebih besar. Maknanya, janganlah kalian menyakiti mereka dengan
sesuatu apapun, meskipun kecil.
Dalam hadits lain, Nabi
bersabda: Kalau Allah mengetahui sikap menyakitkan orang tua yang lebih rendah
dari kata "ah", niscaya akan melarangnya. Orang yang durhaka
hendaknya berbuat apa saja, namun ia tidak akan masuk syurga. Dan anak yang
berbakti hendaknya berbuat apa saja, tidak akan masuk neraka".
Menurut Syaikh As Sa'di
kedurhakaan terbagi dua. Pertama, sengaja bersikap buruk kepada orang tua, dan
ini dosanya lebih besar. Kedua, sikap tidak mau berbuat baik kepada keduanya
tanpa ada unsur menyakiti. Ini tetap haram, tetapi tidak seperti yang pertama.
Anakku, ini surat dari
ibu yang tersayat hatinya. Linangan air mata bertetesan deras menyertai
tersusunnya tulisan ini. Aku lihat engkau lelaki yang gagah lagi matang.
Bacalah surat ini. Dan kau boleh merobek-robeknya setelah itu, seperti saat
engkau meremukkan kalbuku sebelumnya.
Sejak dokter mengabari
tentang kehamilan, aku berbahagia. Ibu-ibu sangat memahami makna ini dengan
baik. Awal kegembiraan dan sekaligus perubahan psikis dan fisik.
Sembilan bulan aku
mengandungmu. Seluruh aktivitas aku jalani dengan susah payah karena
kandunganku. Meski begitu, tidak mengurangi kebahagianku. Kesengsaraan yang
tiada hentinya, bahkan kematian kulihat di depan mataku saat aku melahirkanmu.
Jeritan tangismu meneteskan air mata kegembiraan kami.
Berikutnya, aku layaknya
pelayan yang tidak pernah istirahat. Kepenatanku demi kesehatanmu.
Kegelisahanku demi kebaikanmu. Harapanku hanya ingin melihat senyum sehatmu dan
permintaanmu kepada ibu untuk membuatkan sesuatu.
Masa remaja pun engkau
masuki. Kejantananmu semakin terlihat. Aku pun berikhtiar untuk mencarikan
gadis yang ingin mendampingi hidupmu. Kemudian tibalah saat engkau menikah.
Hatiku sedih atas kepergianmu, namun aku tetap bahagia lantaran engkau menempuh
hidup baru.
Seiring perjalanan
waktu, aku merasa engkau bukan anakku yang dulu. Hakku telah terlupakan. Sudah
sekian lama aku tidak bersua, meski melalui telepon. Ibu tidak menuntut
macam-macam. Sebulan sekali, jadikanlah ibumu ini sebagai persinggahan, meski
hanya beberapa menit saja untuk melihat anakku.
Ibu sekarang sudah
sangat lemah. Punggung sudah membungkuk, gemetar sering melecut tubuh dan
berbagai penyakit tak bosan-bosan singgah kepadaku. Ibu semakin susah melakukan
gerakan.
Anakku, seandainya ada
yang berbuat baik kepadamu, niscaya ibu akan berterima kasih kepadanya.
Sementara ibu telah sekian lama berbuat baik kepada dirimu. Manakah balasan dan
terima kasihmu pada ibu? Apakah engkau sudah kehabisan rasa kasihmu pada ibu?
Ibu bertanya-tanya, dosa
apa yang menyebabkan dirimu enggan melihat dan mengunjungi ibu? Baiklah, anggap
ibu sebagai pembantu, mana upah ibu selama ini? Anakku, ibu hanya ingin
melihatmu saja. Lain tidak. Kapan hatimu memelas dan luluh untuk wanita tua
yang sudah lemah ini dan dirundung kerinduan, sekaligus duka dan kesedihan? Ibu
tidak tega untuk mengadukan kondisi ini kepada Dzat yang di atas sana. Ibu juga
tidak akan menularkan kepedihan ini kepada orang lain. Sebab, ini akan menyeretmu
kepada kedurhakaan. Musibah dan hukuman pun akan menimpamu di dunia ini sebelum
di akhirat. Ibu tidak akan sampai hati melakukannya. Anakku, bagaimanapun
engkau masih buah hatiku, bunga kehidupan dan cahaya duniaku.
Anakku, perjalanan tahun
akan menumbuhkan uban di kepalamu. Dan balasan berasal dari jenis amalan yang
dikerjakan. Nantinya, engkau akan menulis surat kepada keturunanmu dengan
linangan air mata seperti yang ibu alami. Di sisi Allah, kelak akan berhimpun
sekian banyak orang-orang yang menggugat. Anakku, takutlah kepada Allah karena
kedurhakaanmu kepada ibu. Sekalah airmataku, ringankanlah beban kesedihanku.
Terserahlah kepadamu jika engkau ingin merobek-robek surat ini. Ketahuilah,
barangsiapa beramal shalih maka itu buat dirinya sendiri. Dan orang yang
berbuat jelek, maka itu (juga) menjadi tanggungannya sendiri.
Anakku, ingatlah saat
engkau berada di perut ibu. Ingat pula saat persalinan yang sangat menegangkan.
Ibu merasa dalam kondisi hidup atau mati. Darah persalinan, itulah nyawa ibu.
Ingatlah saat engkau menyusui. Ingatlah belaian sayang dan kelelahan ibu saat
engkau sakit. Ingatlah… ingatlah…. Karena itu, Allah menegaskan dengan wasiat:
"Wahai, Rabb-ku, sayangilah mereka berdua seperti mereka menyayangiku
waktu aku kecil".
Anakku, Allah berfirman
(artinya): "Dan dalam kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang
berakal." ( Yusuf : 111). Pandanglah masa teladan dalam Islam, masa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup, supaya engkau memperoleh potret
bakti anak kepada orang tua.
Sahabat Abu Hurairah
sempat gelisah karena ibunya masih dalam jeratan kekufuran. Dalam Shahih Muslim
disebutkan, dari Abu Hurairah, ia bercerita:
"Aku mendakwahi ibuku
agar masuk Islam. Suatu hari aku mengajaknya untuk masuk Islam, tetapi dia
malah mengeluarkan pernyataan tentang Nabi yang aku benci. Aku (pun) menemui
Rasulullah dalam keadaan menangis. Aku mengadu: "Wahai Rasulullah, aku
telah membujuk ibuku untuk masuk Islam, namun dia menolakku. Hari ini, dia
berkomentar tentang dirimu yang aku benci. Mohonlah kepada Allah supaya memberi
hidayah ibu Abu Hurairah." Rasulullah bersabda: "Ya, Allah.
Tunjukilah ibu Abu Hurairah." Aku keluar dengan hati riang karena do'a
Nabi. Ketika aku pulang dan mendekati pintu, maka ternyata pintu terbuka. Ibuku
mendengar kakiku dan berkata: "Tetap di situ Abu Hurairah." Aku
mendengar kucuran air. Ibu ku sedang mandi dan kemudian mengenakan pakaiannya
serta menutup wajahnya, dan kemudian membuka pintu. Dan ia berkata:
"Wahai, Abu Hurairah! Asyhadu an Laa ilaaha Illa Allah wa asyhadu anna
Muhammadan 'abduhu warasuluhu." Aku kembali ke tempat Rasulullah dengan
menangis gembira. Aku berkata,"Wahai, Rasulullah. Bergembiralah. Allah
telah mengabulkan do'amu dan menunjuki ibuku." Maka Beliau memuji Allah
dan menyanjungNya serta berkomentar baik." [HR Muslim].
Ibnu 'Umar pernah
melihat lelaki menggendong ibunya dalam thawaf. Ia bertanya: "Apakah ini
sudah melunasi jasanya (padaku), wahai Ibnu 'Umar?" Beliau menjawab:
"Tidak, meski hanya satu jeritan kesakitannya (saat bersalin)."
Zainal 'Abidin, adalah
seseorang yang terkenal baktinya kepada ibu. Orang-orang keheranan kepada, (dan
berkata): "Engkau adalah orang yang paling berbakti kepada ibu. Mengapa
kami tidak pernah melihatmu makan berdua dengannya dalam satu talam?" Ia
menjawab,"Aku khawatir, tanganku mengambil sesuatu yang dilirik matanya,
sehingga aku durhaka kepadanya."
Sebelumnya, kisah yang
lebih mengharukan terjadi pada diri Uwais Al Qarni, orang yang sudah beriman
pada masa Nabi, sudah berangan-angan untuk berhijrah ke Madinah untuk bertemu
dengan Nabi. Namun perhatiannya kepada ibunya telah menunda tekadnya berhijrah.
Ia ingin bisa meraih syurga dan berteman dengan Nabi dengan baktinya kepada
ibu, kendatipun harus kehilangan kemuliaan menjadi sahabat Beliau di dunia.
Dalam Shahih Muslim,
dari Usair bin Jabir, ia berkata: Bila rombongan dari Yaman datang, Umar bin
Khaththab bertanya kepada mereka: "Apakah Uwais bin 'Amir bersama
kalian?" Sampai akhirnya menemui Uwais. Umar
bertanya,"Engkau Uwais bin 'Amir?" Ia menjawab,"Benar."
'Umar bertanya,"Engkau dari Murad kemudian beralih ke Qarn?" Ia
menjawab,"Benar". Umar bertanya,"Apakah engkau dulu pernah sakit
lepra dan sembuh, kecuali kulit yang sebesar uang dirham?" Ia
menjawab,"Benar." 'Umar bertanya,"Engkau punya ibu?" Ia
menjawab,"Benar." Umar (pun) mulai bercerita,"Aku mendengar
Rasulullah bersabda,'Akan datang pada kalian Uwais bin 'Amir bersama rombongan
penduduk Yaman yang berasal dari Murad dan kemudian dari Qarn. Ia pernah tertimpa
lepra dan sembuh total, kecuali kulit yang sebesar logam dirham. Ia mempunyai
ibu yang sangat dihormatinya. Seandainya ia bersumpah atas nama Allah, niscaya
aku hormati sumpahnya. Mintalah ia beristighfar untukmu jika bertemu'."
(Umar berkata),"Tolong mintakan ampun (kepada Allah) untukku," maka
ia memohonkan ampunan untukku. Umar bertanya,"Kemana engkau akan
pergi?" Ia menjawab,"Kufah." Umar berkata,"Maukah engkau
jika aku menulis (rekomendasi) untukmu ke gubernurnya (Kufah)?" Ia menjawab,"Aku
lebih suka bersama orang yang tidak dikenal."
Kisah lainnya tentang
bakti kepada ibu, yaitu Abdullah bin 'Aun pernah memanggil ibunya dengan suara
keras, maka ia memerdekakan dua budak sebagai tanda penyesalannya.
KISAH KEDURHAKAAN
KEPADA ORANG TUA
Diceritakan ada
lelaki yang sangat durhaka kepada sang ayah sampai tega menyeret ayahnya ke
pintu depan untuk mengusirnya dari rumah. Sang ayah ini dikarunia anak yang
lebih durhaka darinya. Anak itu menyeret bapaknya sampai ke jalanan untuk
mengusirnya dari rumahnya. Maka sang bapak berkata: "Cukup. Dulu aku hanya
menyeret ayahku sampai pintu depan." Sang anak menimpali: "Itulah
balasanmu. Adapun tambahan ini sebagai sedekah dariku!"
Kisah perih lainnya,
seorang ibu yang mengisahkan kepedihannya: "Suatu hari istri anakku
meminta suaminya (anakku) agar menempatkanku di ruangan yang terpisah, berada
di luar rumah. Tanpa ragu-ragu, anakku menyetujuinya. Saat musim dingin yang
sangat menusuk, aku berusaha masuk ke dalam rumah, tapi pintu-pintu terkunci
rapat. Rasa dingin pun menusuk tubuhku. Kondisiku semakin buruk. Anakku ingin
membawaku ke suatu tempat. Perkiraanku
ke rumah sakit, tetapi ternyata ia mencampakkanku ke panti jompo. Dan setelah
itu tidak pernah lagi menemuiku."
Sebagai penutup, kita
harus memahami bahwa bakti kepada orang tua merupakan jalan lempang dan mulia
yang mengantarkan seorang anak menuju syurga Allah. Sebaliknya, kedurhakaan
kepada mereka, bisa menyeret sang anak menuju lembah kehinaan, neraka.
Hati-hatilah, durhaka
kepada orang tua, dosanya besar dan balasannya menyakitkan. Nabi n
bersabda,"Akan terhina, akan terhina dan akan terhina!" Para sahabat
bertanya,"Wahai, Rasulullah. Siapakah gerangan?" Beliau
bersabda,"Orang yang mendapati orang tuanya, atau salah satunya pada hari
tuanya, namun ia (tetap) masuk neraka." [R Muslim].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar