SEBAGIAN besar suku Aceh yang Islam tak akan percaya jika
ada orang Aceh yang keluar dari agamanya. Saya termasuk salah satunya,
karenanya saat tsunami saya tidak begitu khawatir tentang masalah isu
permutadan tersebut, sebab orang Aceh memiliki seperangkat “fanatisme positif”
dalam merawat Islam sebagai agama orang Aceh.
Namun, sekarang saya dan sebagian orang yang berpikir seperti itu
tersentak bahwa para misionaris telah berhasil “mencuri” satu khasanah Aceh.
Orang Aceh tidak cukup kebal dan kemungkinan juga “fanatisme positif” sudah
tidak terawat lagi sehingga tiga orang wanita Aceh telah murtad dengan berbagai
alasan.
Satu korban saat diajukan pertanyaan, mengapa mau murtad? menjawab, “tidak
dipaksa tetapi seperti tidak sadar”, satu lagi menjawab “tidak mengerti saya
sudah murtad tetapi saya sudah dibaptis atau dimandikan” dan satu lagi
menjawab, “Saya beralih agama secara sukarela, namun sekarang saya sudah
beralih kembali ke Islam,” jawabnya.
Dari pengakuan korban, ada sebuah pernyataan bahwa kendatipun mereka sudah
beralih agama mereka tetap bisa melaksanakan shalat, menggunakan jilbab, dan
kegiatan lainnya. Sebab, bagi misionaris tidak penting seseorang yang sudah
murtad melaksanakan hukum “syariat” baru. Yang penting “domba” yang hilang itu
sudah masuk dalam pengampunan yang mereka yakini selama ini.
Artinya, orang Aceh harus sadar bahwa target misionaris dengan target Islam
dalam masalah pertukaran agama, sangat berbeda. Dalam Islam, seseorang yang
baru memeluk Islam diminta untuk hidup baru. artinya semua nilai lama harus
ditinggalkan. Tetapi, dalam agama yang disiarkan para misionaris ini, mereka
masih menganjurkan kepada penganut baru untuk tetap hidup dengan nilai lama.
Yang penting bagi mereka, berubahnya keimanan dan kepercayaan kepada ajaran mereka.
Dengan demikian, orang Aceh harus paham, proses pemurtadan seperti ini
merupakan pekerjaan halus, tak berbekas dan sulit diditeksi. Karenanya, proses
pemurtadan bukan sebuah bahaya terbuka, tetapi dia adalah laten dan lebih
bermakna kepada tingkat tauhid.
Misionaris juga suka menggunakan idiom Islam, terutama tentang Isa AS sebagai
pintu masuk dalam membicarakan Islam dan kemudian ujungnya mereka akan
memberitahukan kesamaan dan kedudukan mulia antara Islam dan agama baru yang
disodorkan.
Para misionaris suka memilih target orang Islam yang dinilai sekuler atau
secara penampilan dapat mereka prediksikan sebagai “domba” yang mudah untuk
diubah. Hasil pengamatan memang memperlihatkan kecenderungan tersebut, dari
korban terlihat bahwa mereka termasuk orang Aceh yang modern dalam penampilan,
dan memiliki sejarah bergaul yang “wah”, meski hanya setingkat perkampungan.
Misionaris juga sering memesonakan dirinya lewat perilaku yang baik dalam
melaksanakan kegiatan dan pekerjaannya terutama dalam bidang kemanusiaan.
Pemberian bantuan dan keramahan mereka serta sikap yang baik yang ditunjukan
kepada masyarakat, membuat beberapa orang mudah untuk dipengaruhi. Keramahan
dengan niat spirituil ini, membuat “mereka” yang tertarik membandingkan dengan
orang di sekeliling mereka. Kebaikan dalam bentuk pemberian, perhatian,
kesempatan, dan pemberdayaan tersebut akhirnya menjadi sebuah lubang utuh untuk
masuknya “nilai syirik” besar ke dalam nurani orang yang ditargetkan tersebut.
Strategi Aceh
Muslimin Aceh, terutama kalangan ulama, dayah, dan kalangan cendikiawan muslim
berdarah Aceh dapat dikatakan tidak memiliki pengalaman “tanding” dengan para
misionaris. Berbeda dengan muslimin atau ulama di pesantren di luar Aceh.
Persaingan antar agama ini, telah membuat organisasi dan para ulama tertarik
untuk belajar paham-paham misionaris, sehingga jurus mereka dalam menghadapi
misionaris lebih mampu memahami, dan bahkan menangkalnya.
Dengan demikian, sudah saatnya muslimin, ulama, dan organisasi Islam di Aceh
memlengkapi diri dengan pengetahuan “counter strategi” untuk membongkar dan
sekaligus mencegah proses misionaris ini secara tuntas. Di samping itu,
penanganan syariat Islam juga bukan hanya sebatas pelaksanaan hukum-hukum Islam
tetapi juga memantapkan fungsinya untuk mencegah gerak-gerik misionaris ini dan
peningkatkan pendidikan keimanan di tengah masyarakat sehingga Aceh akan cukup
punya pengetahuan umum dan ketahanan yang saya istilahkan dengan “fanatisme
positif” untuk merawat nilai Islam di hati orang Aceh.
Kajian Hukum
Sampai hari ini, tidak mudah untuk menjadikan masalah pemurtadan ini sebagai
masalah hukum. Dasar yuridis untuk menjerat pelaku pemurtadan orang Aceh
tersebut hanya dapat dijerat dengan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang
Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Akidah dan syiar Islam khususnya pasal 4
ayat 3. Di mana disebutkan “Setiap orang dilarang dengan sengaja keluar dari
akidah dan atau menghina atau melecehkan agama Islam” dan pasal 20 menyatakan
“Barang siapa yang sengaja keluar dari akidah Islam dan atau menghina atau
melecehkan agama Islam sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 3 akan dihukum
dengan hukuman yang akan diatur dalam Qanun tersendiri.” Masalahnya, qanun ini
sampai dengan hari ini belum juga ada sehingga di lapangan Satpol PP dan WH sangat
sulit menyelesaikannya secara hukum.
Namun, ada satu kekuatan yang menjadi penentu dalam penyelesaian masalah ini
terutama masyarakat yang sangat antusias agar masalah ini dapat diselesaikan
secara cepat dan tepat. Artinya, proses pemurtadan tersebut agar dapat
dihentikan segera.
Jalan sistematis harus segera diambil, pertama, perlu digelar rakor secara
provinsi sebab masalah ini bukan hanya terjadi di masyarakat Aceh Barat tetapi
kemungkinan juga sudah merambah ke daerah lain. Kedua, masyarakat yang konsen
terhadap Islam harus diikat secara cerdas oleh Dinas Syariat Islam
Kabupaten/Kota untuk menjadi jaringan pendalaman Akidah sekaligus sebagai
penangkal pendangkalan Akidah. Dan yang ketiga, perlu upaya memperbaiki
persepsi terhadap Islam itu sendiri dari kalangan Islam. Penolakan yang membabi
buta terhadap pemberlakukan busana Islam di Aceh Barat merupakan indikasi bahwa
masyarakat kita sudah mulai termakan isu fundamentalisme Islam dan penabalan
Islam sebagai terorisme. Wallahu a’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar