Sabtu, 02 Juni 2012

Murtad Berbaju Islam

SEBAGIAN besar suku Aceh yang Islam tak akan percaya jika ada orang Aceh yang keluar dari agamanya. Saya termasuk salah satunya, karenanya saat tsunami saya tidak begitu khawatir tentang masalah isu permutadan tersebut, sebab orang Aceh memiliki seperangkat “fanatisme positif” dalam merawat Islam sebagai agama orang Aceh.

Namun, sekarang saya dan sebagian orang yang berpikir seperti itu  tersentak bahwa para misionaris telah berhasil “mencuri” satu khasanah Aceh. Orang Aceh tidak cukup kebal dan kemungkinan juga “fanatisme positif” sudah tidak terawat lagi sehingga tiga orang wanita Aceh telah murtad dengan berbagai alasan.

Satu korban saat diajukan pertanyaan, mengapa mau murtad? menjawab, “tidak dipaksa tetapi seperti tidak sadar”, satu lagi menjawab “tidak mengerti saya sudah murtad tetapi saya sudah dibaptis atau dimandikan” dan satu lagi menjawab, “Saya beralih agama secara sukarela, namun sekarang saya sudah beralih kembali ke Islam,” jawabnya.




Dari pengakuan korban, ada sebuah pernyataan bahwa kendatipun mereka sudah beralih agama mereka tetap bisa melaksanakan shalat, menggunakan jilbab, dan kegiatan lainnya. Sebab, bagi misionaris tidak penting seseorang yang sudah murtad melaksanakan hukum “syariat” baru. Yang penting “domba” yang hilang itu sudah masuk dalam pengampunan yang mereka yakini selama ini.

Artinya, orang Aceh harus sadar bahwa target misionaris dengan target Islam dalam masalah pertukaran agama, sangat berbeda. Dalam Islam, seseorang yang baru memeluk Islam diminta untuk hidup baru. artinya semua nilai lama harus ditinggalkan. Tetapi, dalam agama yang disiarkan para misionaris ini, mereka masih menganjurkan kepada penganut baru untuk tetap hidup dengan nilai lama. Yang penting bagi mereka, berubahnya keimanan dan kepercayaan kepada ajaran mereka.

Dengan demikian, orang Aceh harus paham, proses pemurtadan seperti ini merupakan pekerjaan halus, tak berbekas dan sulit diditeksi. Karenanya, proses pemurtadan bukan sebuah bahaya terbuka, tetapi dia adalah laten dan lebih bermakna kepada tingkat tauhid.

Misionaris juga suka menggunakan idiom Islam, terutama tentang Isa AS sebagai pintu masuk dalam membicarakan Islam dan kemudian ujungnya mereka akan memberitahukan kesamaan dan kedudukan mulia antara Islam dan agama baru yang disodorkan.

Para misionaris suka memilih target orang Islam yang dinilai sekuler atau secara penampilan dapat mereka prediksikan sebagai “domba” yang mudah untuk diubah. Hasil pengamatan memang memperlihatkan kecenderungan tersebut, dari korban terlihat bahwa mereka termasuk orang Aceh yang modern dalam penampilan, dan memiliki sejarah bergaul yang “wah”, meski hanya setingkat perkampungan.

Misionaris juga sering memesonakan dirinya lewat perilaku yang baik dalam melaksanakan kegiatan dan pekerjaannya terutama dalam bidang kemanusiaan. Pemberian bantuan dan keramahan mereka serta sikap yang baik yang ditunjukan kepada masyarakat, membuat beberapa orang mudah untuk dipengaruhi. Keramahan dengan niat spirituil ini, membuat “mereka” yang tertarik membandingkan dengan orang di sekeliling mereka. Kebaikan dalam bentuk pemberian, perhatian, kesempatan, dan pemberdayaan tersebut akhirnya menjadi sebuah lubang utuh untuk masuknya “nilai syirik” besar ke dalam nurani orang yang ditargetkan tersebut.

Strategi Aceh


Muslimin Aceh, terutama kalangan ulama, dayah, dan kalangan cendikiawan muslim berdarah Aceh dapat dikatakan tidak memiliki pengalaman “tanding” dengan para misionaris. Berbeda dengan muslimin atau ulama di pesantren di luar Aceh. Persaingan antar agama ini, telah membuat organisasi dan para ulama tertarik untuk belajar paham-paham misionaris, sehingga jurus mereka dalam menghadapi misionaris lebih mampu memahami, dan bahkan menangkalnya.

Dengan demikian, sudah saatnya muslimin, ulama, dan organisasi Islam di Aceh memlengkapi diri dengan pengetahuan “counter strategi” untuk membongkar dan sekaligus mencegah proses misionaris ini secara tuntas. Di samping itu, penanganan syariat Islam juga bukan hanya sebatas pelaksanaan hukum-hukum Islam tetapi juga memantapkan fungsinya untuk mencegah gerak-gerik misionaris ini dan peningkatkan pendidikan keimanan di tengah masyarakat sehingga Aceh akan cukup punya pengetahuan umum dan ketahanan yang saya istilahkan dengan “fanatisme positif” untuk merawat nilai Islam di hati orang Aceh.

Kajian Hukum


Sampai hari ini, tidak mudah untuk menjadikan masalah pemurtadan ini sebagai masalah hukum. Dasar yuridis untuk menjerat pelaku pemurtadan orang Aceh tersebut hanya dapat dijerat dengan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Akidah  dan syiar Islam khususnya pasal 4 ayat 3. Di mana disebutkan “Setiap orang dilarang dengan sengaja keluar dari akidah dan atau menghina atau melecehkan agama Islam” dan pasal 20 menyatakan “Barang siapa yang sengaja keluar dari akidah Islam dan atau menghina atau melecehkan agama Islam sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 3 akan dihukum dengan hukuman yang akan diatur dalam Qanun tersendiri.” Masalahnya, qanun ini sampai dengan hari ini belum juga ada sehingga di lapangan Satpol PP dan WH sangat sulit menyelesaikannya secara hukum.

Namun, ada satu kekuatan yang menjadi penentu dalam penyelesaian masalah ini terutama masyarakat yang sangat antusias agar masalah ini dapat diselesaikan secara cepat dan tepat. Artinya, proses pemurtadan tersebut agar dapat dihentikan segera.

Jalan sistematis harus segera diambil, pertama, perlu digelar rakor secara provinsi sebab masalah ini bukan hanya terjadi di masyarakat Aceh Barat tetapi kemungkinan juga sudah merambah ke daerah lain. Kedua, masyarakat yang konsen terhadap Islam harus diikat secara cerdas oleh Dinas Syariat Islam Kabupaten/Kota untuk menjadi jaringan pendalaman Akidah sekaligus sebagai penangkal pendangkalan Akidah. Dan yang ketiga, perlu upaya memperbaiki persepsi terhadap Islam itu sendiri dari kalangan Islam. Penolakan yang membabi buta terhadap pemberlakukan busana Islam di Aceh Barat merupakan indikasi bahwa masyarakat kita sudah mulai termakan isu fundamentalisme Islam dan penabalan Islam sebagai terorisme. Wallahu a’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar