Kitab kuning
bukan merupakan istilah untuk kitab yang kertasnya kuning saja, akan tetapi ia
merupakan istilah untuk kitab yang dikarang oleh para cendekiawan masa silam.
Istilah tersebut digunakan karena mayoritas kitab klasik menggunakan kertas
kuning, namun belakangan ini penerbit-penerbit banyak yang menggunakan kertas
putih. Yang pasti, istilah tersebut digunakan untuk produk pemikiran salaf.
Sementara itu, produk pemikiran salaf dikalangan akdemisi lebih populer dengan
sebutan turats.
Turats
secara harfiah berarti sesuatu yang ditinggalkan/ diwariskan. Di dunia pemikiran
Islam, turats digunakan dalam khazanah intelektual Islam klasik yang diwariskan
oleh para pemikir tradisional. Istilah turats yang berarti khazanah tradisional
Islam merupakan asli ciptaan bahasa Arab kontemporer.
Sejarah
mencatat bahwa para pembuat kitab kuning/ turats dalam memainkan perannya di
panggung pergulatan pemikiran Islam tak pernah sepi dari polemik dan hal-hal
yang berbau kontradiktif. Sengitnya perdebatan antara Mu’tazilah, Murji’ah,
Rafidhah, dan Ahlu al Sunnah yang direkam secara rinci oleh Abdul Qohir ibn
Thahir ibn Muhammad al Baghdadi (w. 429/1037) dalam karyanya al Farqu bain al
Firaq. Dalam buku tersebut tergambar dengan jelas kemajemukan pemahaman agama
terlebih masalah akidah. Setelah melakukan pencarian dan kajian yang mendalam
para tokoh aliran masing-masing menemukan konklusi yang berbeda-beda.
Pada kurun berikutnya, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali (w.505 H)
berhasil mengguncang dunia filsafat melalui bukunya yang bejudul Tahafut al
Falasifah. Dengan sangat rasional beliau mengungkap kerancuan pemikiran para
filosof terutama pemikiran al Farabi dan Ibnu Sina. Namun kritikan tajam dari
Ghazali terhadap para filosof ini mendapatkan serangan balik dari Muhammad bin
Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd (w. 595 H) melalui Tahafut al Tahafut.
Dalam pandangan Ibnu Rusyd, Ghazali dinilai kurang tepat dalam menguak sisi
fatalitas pemikiran para filosof karena Ghazali pada dasarnya hanya bersandar
pada dua pemikiran yakni al Farabi dan Ibnu Sina, bukan pada akarnya, yakni filsafat
Yunani. Dalam hal, ini Ibnu Rusyd adalah sosok yang melakukan apologi
(pembelaan) sekaligus purifikasi (pemurnian) filsafat Aristoteles yang tercemar
dan terkaburkan oleh pendapat Ibnu Sina. Bahkan Ibnu Rusyd berusaha untuk
mengharmoniskan hubungan antara filsafat dan agama.
Silang pendapat juga tumbuh subur di ranah hukum Islam (fikih). Gesekan-gesekan
banyak terjadi pada pentolan dan pendiri madzhab seperti Syafi’i, Maliki dan
imam-imam yang lain. Dalam tubuh sebuah madzhab juga kerap terjadi benturan ide
sebagaimana yang ada dalam kubu Syafi’iyah seperti al Nawawi dengan al Rafi’i.
Namun perlu diingat bahwa perbedaan bukan berarti permusuhan. Beragam pendapat
yang muncul disikapi oleh para pemikir klasik dengan penuh kedewasaan sehingga
dengan perbedaan justru benar-benar membawa rahmat.
Berbicara soal ilmu pengetahuan, ada baiknya kita tengok kembali gagasan
Ghazali dalam al Mustashfa fi ’Ilm al Ushul -buku tentang teori hukum Islam
(ushul fikih). Dalam prolog (khutbah al kitab) buku tersebut, Hujjatul Islam
memetakan ilmu menjadi tiga macam. Pertama, ilmu rasional murni (’aqli mahdh)
seperti matematika (al hisab), arsitektur (al handasah) dan astrologi (al
nujum). Agama tidak menganjurkan untuk mempelajari ilmu jenis ini. Ilmu ini
sebagian mengandung kebenaran dan sebagian yang lain hanyalah spekulasi yang
tak berdasar. Dalam kacamata Ghazali, ilmu ini tidak berguna karena hanya
terkait erat dengan kehidupan dunia yang fana. Ilmu bisa dikatakan bermanfaat
bukanlah ilmu yang hanya berorientasi pada kenikmatan dan kegemilangan masa
depan, melainkan diukur dengan kemampuannya mengantarkan kepada kebahagian
akhirat yang abadi.
Kedua, ilmu yang murni hanya merujuk pada sumber-sumber terdahulu (naqli
mahdh). Contoh ilmu ini adalah ilmu hadis, tafsir dan yang sejenis. Ilmu hadis
dan tafsir diperoleh dari sahabat, tabi’in dan orang-orang zaman dahulu. Untuk
mengkaji ilmu jenis ini sangat mudah sebab orang muda dan tua dapat menguasai
dengan gampang asalkan memiliki daya ingat yang tajam (quwwat al hifdzi), sementara
rasio tidak begitu berperan di bidang ini.
Dalam
perspektif Ghazali, pembagian ilmu yang paling mulia adalah ilmu yang ketiga.
Ilmu ketiga merupakan upaya mensinergikan antara akal dan nukil, antara
penalaran dan periwayatan. Ilmu fikih dan ushul fikih merupakan cakupan dari
bagian ilmu yang ketiga, sebab porsi akal dan wahyu bekerja bersama-sama di
dalamnya. Karena dalam ilmu ushul fikih dan fikih terkandung dua unsur
sekaligus, maka ilmu ini mempunyai nilai plus bila dibandingkan ilmu hadis, tafsir
dan lainnya.
Pengarang buku Ihya’ Ulumuddin ini menambahkan argumen bahwa ilmu-ilmu semacam
itu tidak dilandaskan pada taklid semata yang menjadi ciri khas ilmu naqli
begitu pula tidak bersandar pada akal murni. Upaya peniruan secara membabi buta
ditolak oleh akal, sementara berpegang pada akal semata tidak dibenarkan agama.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu yang paling unggul adalah ilmu yang berdiri
ditengah-tengah antara akal dan wahyu.
Ada beberapa
hikmah yang bisa diambil dari tiga pemetaan ilmu yang telah dilakukan oleh
Ghazali dan sepenggal sejarah perjalanan intelektual dari masa ke masa.
Dari sana,
penulis ingin menawarkan metode baru dalam memahami kitab kuning.
- Pengkaji kitab kuning tidak hanya berhenti pemahaman hukum-hukum hasil karya ulama terdahulu, tetapi melacak metodologi penggalian hukumnya. Hal ini sebagaimana tawaran al Ghazali bahwa ilmu yang paling baik adalah penggabungan antara aqli dan naqli, antara menerima hasil pemikiran ulama’ salaf sekaligus mengetahui dalil dan penalarannya.
- Membiasakan untuk bersikap kritis dan teliti terhadap objek kajian. Karena pada dasarnya budaya kritis adalah hal yang lumrah dalam dunia intelektual. Sebagaimana telah kita saksikan potret kehidupan ulama’ salaf yang sarat dengan nuansa konflik dan polemik. Hal itu terjadi, tak lain hanyalah karena ketelitian, kejelian dan kritisisme yang dimiliki oleh para pendahulu kita yang kesemuanya patut untuk kita teladani.
- Melakukan analisa yang mendalam, apakah pendapat ulama itu benar-benar murni refleksi atas teks (nash) atau ada faktor lain yang mempengaruhi. Sekedar contoh, kenapa sampai ada qoul qodim dan qoul jadid, kenapa Imam Nawawi berbeda pendapat dengan Imam Syafi’i dalam transaksi jual beli tanpa sighat (bai’al mu’athoh), kenapa Imam Qoffal berani berbeda pendapat dalam memahami sabilillah yang berarti setiap jalan kebaikan (sabil al khair) dapat menerima zakat sedangkan mayoritas ulama tidak memperbolehkan.
- Menelusuri sebab terjadinya perbedaan pendapat, sejarah kodifikasi kitab kuning, latar belakang pendidikan pengarang, keadaan sosial dan budaya yang mempengaruhinya. Memahami faktor dan tujuan pengarang mengemukakan pendapatnya.
- Pengkaji harus menjaga jarak antara dirinya (selaku subyek) dan materi kajian (selaku obyek). Dengan prinsip ini, peneliti tidak boleh membuat penilaian apapun terhadap materi dan melepaskan dari fanatisme yang berlebihan. Dalam tahap ini peneliti harus berusaha ”menelanjangi” aspek kultural, sosial dan historis dimana suatu hukum dicetuskan. Benar-benar memahami latar belakang suatu hukum yang telah dirumuskan ulama’ salaf. Hal ini dimaksudkan agar terjadi penilaian dan pemahaman yang obyektif.
Langkah
terakhir adalah pengkaji menghubungkan antara dirinya dengan obyek kajian.
Langkah ini diperlukan untuk mereaktualisasi dan mengukur relevansi kitab
kuning dengan konteks kekinian. Pengkaji dalam hal ini dituntut untuk
menjadikan kitab kuning sebagai sesuatu yang cocok untuk diterapkan, sesuai
dengan kondisi saat ini dan bersifat ke-Indonesiaan. Senantiasa berpegang pada
prinsip bahwa syariat Islam diciptakan demi tegaknya kemaslahatan sosial pada
masa kini dan masa depan.
Di samping langkah-langkah di atas, pemerhati kajian kitab kuning hendaknya
membekali dengan ilmu penunjang yakni logika (mantiq). Ilmu anggitan
Aristoteles ini tampaknya kurang mendapatkan perhatian, padahal ilmu tersebut
dapat mempertajam rasionalitas dan menumbuhkan daya nalar yang kreatif. Imam
Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Hazm dan ulama salaf lainnya adalah pakar filsafat
Islam disamping menguasai ilmu-ilmu keIslaman.
Kitab kuning merupakan hasil kerja keras para
sarjana Islam klasik yang menyimpan segudang jawaban atas
permasalahan-permasalahan masa lalu. Sementara itu, disisi lain kita adalah
generasi yang hidup di ruang dan kondisi yang berbeda serta menghadapi peliknya
problematika modern. Upaya yang dilakukan para pemikir bebas dalam merespon
pernak-pernik modernitas sembari meninggalkan khazanah tradisional Islam tak
lain hanyalah kecongkakan intelektual. Namun serta merta menjadikan kitab kuning
sebagai pedoman yang ’sepenuhnya laku’ adalah tindakan yang kurang bijaksana,
karena hanya al Quran dan hadis-lah yang bersifat universal.
Kita ini ibarat anak saudagar kaya yang diwarisi ratusan perusahaan besar oleh
bapaknya. Akan tetapi apabila kita tidak mampu memperbaharui sistem,
meingkatkan produktifitas, kreatif dalam merespons dinamika zaman, lambat laun
produk perusahaan tidak laku dan tidak menarik konsumen. Akhir cerita
perusahaan yang besar itu akan mati meninggalkan seribu kisah manis.
Dengan pendekatan-pendekatan di atas untuk memahami kitab kuning, Insya Allah
kitab kuning akan senantiasa aktual, up to date dan layak pakai sepanjang masa.
Dengan berbekal pendekatan tekstual dan pemahaman yang lugu justru akan
menjadikan kitab kuning hanya sekedar bundelan kertas peninggalan ratusan tahun
silam.
Realitas mengatakan bahwa yang berhasil menjadi pemikir-pemikir besar Islam
Indonesia adalah mereka yang betul-betul mampu mengusai khazanah Islam klasik
dengan baik. Tokoh seperti Sahal Mahfudz, Quraisy Syihab, Said Aqil Siraj dll
adalah tokoh-tokoh yang berlatar belakang pendidikan pesantren dan kitab
kuning. Penulis sangat yakin bahwa orang yang mampu mengusai kitab kuning
dengan sempurna adalah orang yang layak meneruskan estafet intelektual
pemikiran Islam masa depan. Selamat bergumul dengan kitab kuning dan berhadapan
dengan arus modernitas serta tantangan zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar