SECARA umum,
agama masyarakat Aceh dikawal dua lembaga tinggi; Dayah (Pesantren) dan PTI
(Perguruan Tinggi Islam) baik negeri maupun swasta. Santri (sebutan peserta
ajar Dayah) atau mahasiswa (sebutan di PTI) adalah generasi intelektual Islam,
dan tradisi intelektualisme mereka berpengaruh pada perkembangan sosial
keagamaan masyarakatnya.
Semangat
intelektual itu, terlihat ketika seorang santri menghabiskan waktunya bertahun
tahun untuk menghafal berbagai kitab, seperti kitab Alfiah( kitab Nahwu berisi
1000 bait karangan Ibnu Malik, ulama Andalusia) atau kitab Matn Sullam (kitab
Manthiq yang terkenal karangan Abdurrahman Al-akhdhari) dan kitab lainnya.
Umumnya kitab-kitab seperti itu ditulis berbentuk nadham (sastra yang huruf
akhirnya sama) agar mudah dihafal oleh penuntut ilmu. Mereka tidak akan
berpindah dari satu kitab ke kitab lain bila belum yang menamatkannya secara
tuntas. Hal itu mereka lakukan bukan tanpa landasan ilmiah, tetapi merupakan
aplikasi sebuah konsep yang dikemukakan oleh seorang tokoh pendidikan klasik;
Az Zarnuji (Ta‘limul Muta‘alim,h.15)
Di samping
kitab kitab berbentuk nadham, santri Dayah juga menghafal ta‘rif ta‘rif
(definisi dari suatu istilah), qa‘idah (undang undang umum) dari berbagai
disiplin ilmu; fiqh, tauhid, tasawuf, tafsir, hadits (yang dikenal dengan ilmu
pokok; ushul fiqh, ’ulumul hadits, nahwu, sharf, manthiq, bayan, ma‘ani,
badi‘(yang dimasyhurkan dengan ilmu alat). Ketika membaca sebuah permasalahan
ilmiah dalam kitab fiqh misalnya, mereka dituntut bisa mengaplikasikan hasil
hafalan dan pemahamannya dalam ilmu alat ke dalam sebuah paragraf kitab yang
sedang dibahas. Bahkan tak jarang hanya dalam satu kalimat atau kata, mereka
harus bisa menganalisanya dari berbagai sudut pandang ilmu yang telah mereka
hafal. Hal itu mereka lakukan, hanya untuk mengambil satu kesimpulan atau
shurah yang benar benar ilmiah dan argumentatif.
Praktis,
pembahasannya mendalam dan sistematis. Biasanya, pendalaman (tahqiq) seperti
itu, baru mereka lakukan setelah menempuh proses pendidikan yang sangat
melelahkan minimal tujuh tahun, bahkan sampai 15 tahun lebih. Tentu tak sedikit
yang drop out, karena tak sanggup menempuh sistem demikian. Paling kurang
mereka akan menjadi santri yang berada di zona aman yang hanya nginap di dayah
sekedar tidak meninggalkan shalat atau memahami dan mengamalkan hukum fardhu
’ain saja. Itulah sekilas tradisi intelektualitas dayah, yang sampai sekarang
masih berlangsung. Efektifkah sistem demikian di era TI (Teknologi Informasi)
yang semakin berkembang? Mampukah dayah menjawab permasalahan kontemporer yang
semakin kompleks?
Sementara
dalam system perguruan tinggi, seorang mahasiswa -seolah dikejar waktu- masuk
perpustakaan, meminjam beberapa buku yang berkaitan dengan judul makalah yang
diberikan oleh sang dosen, atau membaca, mencatat dan mengcopy hal hal penting,
kemudian mereka pergi ke rental komputer mengetik sendiri atau menyewa jasa
pengetik kemudian mengeluarkan beberapa lembar rupiah sebagai gantinya.
Mahasiswa
dilatih untuk mencari, memilah dan memilih kemudian mengambil kesimpulan
berdasarkan analisa hasil bacaan. Sampai pada waktu yang ditentukan, mereka
mempresentasikan makalah setebal 10-15 halaman tentang tema yang telah
ditentukan, Ushul Fiqh misalnya. Kemudian mahasiswa lainnya mengajukan beberapa
pertanyaan, dan muncullah diskusi di antara mereka, yang diakhiri dengan
kesimpulan yang dipaparkan oleh dosen. Dalam waktu sekitar 90 menit mereka
selesai membedah satu tema keagamaan. Dalam waktu sesingkat itu mereka bisa
mengkaji 15 halaman, suatu hal yang kalau di dayah memerlukan waktu satu minggu
baru tuntas pembahasannya. Tradisi seperti itu kini sedang berlangsun.
Kebanyakan mahasiswa di PTI berasal dari MAN dan SMU, sangat sedikit yang
berasal dari Pesantren terpadu dan dayah, bagaimana mereka bisa memahami fiqh,
ushul fiqh, hadits, tafsir dan ilmu keislaman lainnya secara tuntas hanya dalam
waktu empat tahun dan tidak mempunyai basic ilmu alat yang kuat?
Dualisme
sistem pengembangan intelektualitas (Dayah dan Kampus) adalah suatu realita.
Ini kemudian kerap menimbulkan pro-kontra. Sebagian kalangan kampus mengkritik
metode pembelajaran di dayah. Mereka berkata” Dunia semakin berkembang, tak
mungkin kita mempertahankan sistem seperti di dayah. Kita dituntut oleh waktu
untuk terus berkreasi dan melahirkan inovasi baru. Adalah satu hal yang
mustahil memunculkan ide ide baru, bila sistemnya hanya menghafal teks teks
klasik yang tidak up to date dengan perkembangan zaman, permasalahan
kontemporer memerlukan analisa kritis dengan sudut pandang komprehensif dengan
memadukan berbagai pendapat para ahli dari berbagai mazhab. Sangat naïf, kalau
kita hanya berpegang pada satu mazhab saja dan mengabaikan mazhab lainnya dan
untuk apa menghabiskan waktu puluhan tahun, kalau pemikirannya tidak berkembang
dengan bukti rendahnya produktivitas mereka dalam menulis “.
Kalangan
dayah -seolah ingin membela diri- berujar “Kreasi dan inovasi apa yang bisa
dilahirkan oleh intelektual kampus, kalau mereka belajar fiqh dari buku buku
terjemahan, tanpa mengaplikasikan ilmu ilmu alat dalam teks teks arab yang
rumit dan sulit, sehingga menghasilkan kesimpulan hukum yang valid dan tahan
uji? Kalaupun mereka bisa membaca teks arab, analisa mereka akan mirip dengan
khayalan belaka karena mereka tidak menghafal dan mendalami ilmu manthiq, nahw,
sharf, qa‘idah dan ta‘rif? Bagaimana mau mengadopsi mazhab lain, kalau
belajarnya tidak tuntas dari A-Z dari suatu permasalahan?
Mengkompromikan
sistem
Sungguh
agama Islam ini luas, lues dan komplek. Tidak hanya mazhab Syafi‘i saja. Jadi,
kita harus eksklusif terhadap perubahan dan perbedaan pendapat, kemudian
menghasilkan intelektual kampus yang mampu melahirkan karya hasil pemikiran
mereka yang beroirentasi pada kontekstualitas. Sebab bila ditelusuri, bahwa
lembaga kampus menciptakan sebuah paradigma berfikir secara universal dan
komprehensif. Sementara, lembaga dayah menumbuhkan satu dinamika berfikir yang
radikal (mendalam) dan tuntas dari suatu masalah berdasarkan mazhab tertentu,
sehingga melahirkan ulama ulama yang berkompeten dalam mempertahankan aqidah
ahlussunnah wal jama‘ah dengan menolak syubhat dan bid‘ah dalam agama.
Maka sangat
ironis, ketika dua kubu ini saling menyikat dan menyikut, saling mengklaim
bahwa kelompoknya yang paling benar. Padahal, mereka memiliki misi yang sama,
yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan dan mengaplikasikannya dalam realitas
kehidupan. Namun, perbedaan metode dan prinsip telah menimbulkan dikhotomi
pemikiran dalam dunia pendidikan Islam di Aceh.
Bagaimana
mendamaikan konflik intelektual itu? Mungkinkah proses reintegrasi bisa
berlangsung? Mengadopsi teori Ushul fiqh ketika kontradiksi dua dalil. Cara
penyelesaiannya yang paling utama adalah dengan Al Jam‘u wa al taufiq
(mengkompromikan kedua dalil tersebut dengan menempatkannya pada posisi masing
masing). Maka bukan suatu yang mustahil, seperti diharapkan oleh saudara
Muhammad Dayyan dalam ungkapannya” Para dosen yang berkecimpung dalam perguruan
tinggi Islam perlu mempelajari tradisi ilmiah klasik, tradisi ilmiah
kontemporer dan mengkombinasikan hal hal positif dari keduanya dan memperbaiki
hal hal negatif dari keduanya”. Agaknya, inilah yang dimaksud dalam suatu
qa‘idah fiqh, dikatakan “Al Muhafazhah ’ala al qadim al shalih wa al akhzu bi
al jadid al ashlah” melestarikan tradisi (media) lama yang bagus dan mengadopsi
tradisi (media) baru yang lebih bagus.
Mudah
mudahan di Aceh akan lahir intelektual kampus (dosen dan mahasiswa) yang bisa
menghafal dan mendalami Alfiah, Matn Sullam, Qaidah, Ta‘rif dan ilmu alat
lainnya. Sehingga analisa, observasi dan eksplorasi ilmiah mereka lebih
mendalam dan terarah. Juga akan tumbuh intelektual dayah (guru dan santri) yang
bisa mengembangkan pemikiran dan berusaha melakukan pengkajian masalah
kontemporer yang semakin berkembang, kemudian menuangkannya dalam bentuk karya
ilmiah, sehingga muzakarah dan mubahatsah mereka yang mendalam tidak terbawa
arus zaman yang terus berubah. Mungkin, Dayah Mudi Mesra Samalanga saat ini telah
melakukan inovasi ke arah itu dengan mendirikan STAI (Sekolah Tinggi Agama
Islam) Al ’Aziziyah, yang berdiri megah di depan Dayah. Semoga berhasil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar