Allah Swt.
memerintahkan Nabi saw. untuk menyampaikan suatu ketentuan bagi
para Muslimah. Ketentuan yang dibebankan kepada para wanita Mukmin
itu adalah: yudnîna 'alayhinna min jalâbîbihinna (hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka).
Kata jalâbîb
merupakan bentuk jamak dari kata jilbâb. Terdapat beberapa pengertian yang
diberikan para ulama mengenai kata jilbab. Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai
ar-ridâ' (mantel) yang menutup tubuh dari atas hingga bawah.2 Al-Qasimi
menggambarkan, ar-ridâ' itu seperti as-sirdâb (terowongan).3 Adapun menurut
al-Qurthubi, Ibnu al-'Arabi, dan an-Nasafi jilbab adalah pakaian yang menutupi
seluruh tubuh.4 Ada juga yang mengartikannya sebagai milhafah (baju kurung yang
longgar dan tidak tipis) dan semua yang menutupi, baik berupa pakaian maupun
lainnya.5 Sebagian lainnya memahaminya sebagai mulâ'ah (baju kurung) yang
menutupi wanita6 atau al-qamîsh (baju gamis).7
Meskipun
berbeda-beda, menurut al-Baqai, semua makna yang dimaksud itu tidak salah. 8 Bahwa jilbab
adalah setiap pakaian longgar yang menutupi pakaian yang biasa
dikenakan dalam keseharian dapat dipahami dari hadis Ummu 'Athiyah ra.:
Rasulullah
saw. memerintahkan kami untuk keluar pada Hari Fitri dan Adha, baik
gadis yang menginjak akil balig, wanita-wanita yang sedang haid, maupun wanita-wanita
pingitan. Wanita yang sedang haid tetap
meninggalkan shalat, namun mereka dapat menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum
Muslim. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami
ada yang tidak memiliki jilbab?" Rasulullah saw. menjawab, "Hendaklah
saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya." (HR Muslim).
Hadis ini, di
samping, menunjukkan kewajiban wanita untuk mengenakan jilbab ketika hendak
keluar rumah, juga memberikan pengertian jilbab; bahwa yang dimaksud dengan
jilbab bukanlah pakaian sehari-hari yang biasa dikenakan dalam rumah. Sebab,
jika disebutkan ada seorang wanita yang tidak memiliki jilbab, tidak mungkin
wanita itu tidak memiliki pakaian yang biasa dikenakan dalam rumah.
Tentu ia sudah memiliki pakaian, tetapi pakaiannya itu tidak
terkategori sebagai jilbab.
Kata yudnîna
merupakan bentuk mudhâri' dari kata adnâ. Kata adnâ berasal dari kata danâ yang
berarti bawah, rendah, atau dekat. Dengan demikian, kata yudnîna bisa diartikan
yurkhîna (mengulurkan ke bawah).9 Meskipun kalimat ini berbentuk khabar
(berita), ia mengandung makna perintah; bisa pula sebagai jawaban atas perintah
sebelumnya.10
Berkaitan
dengan gambaran yudnîna 'alayhinna, terdapat perbedaan pendapat di antara para
mufassir. Menurut sebagian mufassir, idnâ' al-jilbâb (mengulurkan jilbab)
adalah dengan menutupkan jilbab pada kepala
dan wajahnya sehingga tidak tampak darinya kecuali hanya satu mata. Di
antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas, Ibnu Sirrin, Abidah
as-Salmani,11 dan as-Sudi.12 Demikian juga dengan al-Jazairi, an-Nasafi, dan
al-Baidhawi.13
Sebagian
lainnya yang menyatakan, jilbab itu diikatkan di atas dahi kemudian ditutupkan
pada hidung. Sekalipun kedua matanya terlihat, jilbab itu menutupi dada dan
sebagian besar wajahnya. Demikian pendapat Ibnu Abbas dalam riwayat lain dan
Qatadah.14Adapun menurut al-Hasan, jilbab itu menutupi separuh wajahnya.15
Ada pula yang
berpendapat, wajah tidak termasuk bagian yang ditutup dengan jilbab. Menurut
Ikrimah, jilbab itu menutup bagian leher dan mengulur ke bawah menutupi
tubuhnya, 16 sementara bagian di atasnya ditutup dengan khimâr (kerudung)17
yang juga diwajibkan (QS an-Nur [24]: 31).
Pendapat ini diperkuat dengan hadis
Jabir ra. Jabir ra. menceritakan: Dia pernah menghadiri
shalat Id bersama Rasulullah saw. Setelah shalat usai, Beliau lewat
di depan para wanita. Beliau pun memberikan
nasihat dan mengingatkan mereka. Di situ Beliau bersabda, "Bersedakahlah
karena kebanyakan dari kalian adalah kayu bakar neraka." Lalu seorang
wanita yang duduk di tengah-tengah wanita kaum wanita yang kedua pipinya
kehitam-hitaman (saf'â al-khaddayn) bertanya, "Mengapa wahai
Rasulullah?" Beliau menjawab, "Karena kalian banyak mengadu dan
ingkar kepada suami." (HR Muslim dan Ahmad).
Deskripsi
Jabir ra. bahwa kedua pipi wanita yang bertanya kepada Rasulullah
saw. kedua pipinya kehitam-hitaman menunjukkan wajah wanita itu tidak
tertutup. Jika hadis ini dikaitkan dengan hadis Ummu Athiyah yang
mewajibkan wanita mengenakan jilbab saat hendak mengikuti shalat Id, berarti
jilbab yang wajib dikenakan itu tidak harus menutup wajah. Sebab, jika
pakaian wanita itu bukan jilbab atau penggunaannya tidak benar,
tentulah Rasulullah saw. akan menegur wanita itu dan melarangnya mengikuti
shalat Id. Di samping hadis ini, terdapat banyak riwayat yang menceritakan
adanya para wanita yang membuka wajahnya dalam kehidupan umum.
Penafsiran ini
juga sejalan dengan firman Allah Swt. dalam QS an-Nur (24) ayat 31: Wa lâ
yubdîna zînatahunna illâ mâ zhahara minhâ (dan janganlah
mereka menampakkan kecuali yang biasa tampak daripadanya).
Menurut Ibnu Abbas, yang biasa tampak adalah wajah dan dua telapak tangan. Ini adalah
pendapat yang masyhur menurut jumhur ulama.18Pendapat yang sama juga
dikemukakan Ibnu Umar, Atha', Ikrimah, Said bin Jubair, Abu asy-Sya'tsa',
adh-Dhuhak, Ibrahim an-Nakhai,19 dan al-Auza'i.20 Demikian juga pendapat
ath-Thabari, al-Jashash, dan Ibnu al-'Arabi.21
Meskipun ada perbedaan pendapat
tentang wajah dan telapak tangan, para mufassir sepakat bahwa jilbab
yang dikenakan itu harus bisa menutupi seluruh tubuhnya, termasuk
di dalamnya telapak kaki. Hal ini
didasarkan pada Hadis Nabi saw.: "Siapa saja yang menyeret
bajunya lantaran angkuh, Allah tidak akan
melihatnya pada Hari Kiamat." Ummu Salamah bertanya, "Lalu bagaimana
dengan ujung-ujung pakaian kami?" Beliau menjawab, "Turunkanlah
satu jengkal." Ummu Salamah bertanya lagi, "Kalau begitu, telapak
kakinya tersingkap." Lalu Rasulullah saw. bersabda lagi, "Turunkanlah
satu hasta dan jangan lebih dari itu." (HR at-Tirmidzi).
Berdasarkan hadis ini,
jilbab yang diulurkan dari atas hingga bawah harus bisa menutupi dua
telapak kaki wanita. Dalam hal ini, para wanita tidak perlu takut
jilbabnya menjadi najis jika terkena tanah yang najis. Sebab, jika
itu terjadi, tanah yang dilewati berikutnya akan mensucikannya.
Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah meriwayatkan
dari Ummu al-Walad Abdurrahman bin Auf; ia pernah bertanya kepada
Ummu Salamah ra. tentang ujung pakainnya yang panjang dan digunakan
berjalan di tempat yang kotor. Ummu Salamah menjawab bahwa
Rasulullah saw. pernah bersabda: Yuthahhiruhu mâ ba'dahu (Itu disucikan oleh
apa yang sesudahnya).
Selanjutnya
Allah Swt. berfirman: Dzâlika adnâ an yu'rafna falâ yu'dzayn (Yang demikian itu
supaya mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu). Maksud
kata dzâlika adalah ketentuan pemakaian jilbab bagi wanita, sedangkan adnâ
berarti aqrab (lebih dekat).22 Yang dimaksud dengan lebih mudah dikenal itu
bukan dalam hal siapanya, namun apa statusnya. Dengan jilbab, seorang wanita
merdeka lebih mudah dikenali dan dibedakan dengan budak.23 Karena diketahui
sebagai wanita merdeka, mereka pun tidak diganggu dan disakiti.
Patut dicatat,
hal itu bukanlah 'illat (sebab disyariatkannya hukum) bagi kewajiban jilbab
yang berimplikasi pada terjadinya perubahan hukum jika illat-nya tidak ada. Itu
hanyalah hikmah (hasil yang didapat dari penerapan hukum). Artinya, kewajiban berjilbab,
baik bisa membuat wanita Mukmin lebih dikenal atau tidak, tidaklah berubah.
Ayat ini
ditutup dengan ungkapan yang amat menenteramkan hati: Wa kâna Allâh Ghafûra
Rahîma (Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang). Karena itu, tidak ada alasan bagi
manusia untuk tidak bertobat kepada-Nya jika telah terlanjur
melakukan perbuatan dosa dan tidak menaati aturan-Nya. Mendatangkan
Kebaikan
Ayat ini
secara jelas memberikan ketentuan tentang pakaian yang wajib
dikenakan wanita Muslimah. Pakaian tersebut adalah jilbab yang menutup
seluruh tubuhnya. Bagi para wanita, mereka tak boleh merasa diperlakukan
diskriminatif sebagaimana kerap diteriakkan oleh pengajur feminisme.
Faktanya, memang terdapat perbedaan mencolok antara tubuh wanita dan
tubuh laki-laki. Oleh karenanya, wajar jika ketentuan
terhadapnya
pun berbeda. Keadilan tak selalu harus sama. Jika memang faktanya
memang berbeda, solusi terhadapnya pun juga tak harus sama.
Penggunaan
jilbab dalam kehidupan umum akan mendatangkan kebaikan bagi semua pihak.
Dengan tubuh yang tertutup jilbab, kehadiran wanita jelas tidak
akan membangkitkan birahi lawan jenisnya. Sebab, naluri seksual tidak
akan muncul dan menuntut pemenuhan jika tidak ada stimulus yang
merangsangnya. Dengan demikian, kewajiban berjilbab telah menutup salah
satu celah yang dapat mengantarkan manusia terjerumus ke dalam
perzinaan; sebuah perbuatan menjijikkan yang amat dilarang oleh Islam.
Fakta
menunjukkan, di negara-negara Barat yang kehidupannya dipenuhi dengan
pornografi dan pornoaksi, angka perzinaan dan pemerkosaannya amat
mengerikan. Di AS pada tahun 1995, misalnya, angka statistik nasional
menunjukkan, 1,3 perempuan diperkosa setiap menitnya. Berarti, setiap jamnya
78 wanita diperkosa, atau 1.872 setiap harinya, atau 683.280 setiap
tahunnya!24 Realitas ini makin membuktikan kebenaran ayat ini: Dzâlika adnâ an
yu'rafna falâ yu'dzayn (Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal sehingga mereka tidak diganggu).
Bagi wanita,
jilbab juga dapat mengangkatnya pada derajat kemuliaan. Dengan aurat
yang tertutup rapat, penilaian terhadapnya lebih terfokus pada
kepribadiannya, kecerdasannya, dan profesionalismenya serta ketakwaannya.
Ini berbeda jika wanita tampil 'terbuka' dan sensual. Penilaian
terhadapnya lebih tertuju pada fisiknya. Penampilan seperti itu juga hanya
akan menjadikan wanita dipandang sebagai onggokan daging yang memenuhi
hawa nafsu saja.
Walhasil,
penutup ayat ini harus menjadi catatan amat penting dalam menyikapi kewajiban
jilbab. Wa kânaLlâh Ghafûra Rahîma (Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang). Ini memberikan isyarat, kewajiban
berjilbab tersebut merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah Swt.
kepada hamba-Nya. Siapa yang tidak mau disayangi-Nya?!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar