Rabu, 15 Agustus 2012

Anggapan yang Keliru

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
وَمَا يَظُنُّهُ بَعْضُ النَّاسِ أَنَّهُ مَنْ وُلِدَ عَلَى الْإِسْلَامِ فَلَمْ يَكْفُرْ قَطُّ أَفْضَلُ مِمَّنْ كَانَ كَافِرًا فَأَسْلَمَ لَيْسَ بِصَوَابِ ؛ بَلْ الِاعْتِبَارُ بِالْعَاقِبَةِ وَأَيُّهُمَا كَانَ أَتْقَى لِلَّهِ فِي عَاقِبَتِهِ كَانَ أَفْضَلَ . فَإِنَّهُ مِنْ الْمَعْلُومِ أَنَّ السَّابِقِينَ الْأَوَّلِينَ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ الَّذِينَ آمَنُوا بِاَللَّهِ وَرَسُولِهِ بَعْدَ كُفْرِهِمْ هُمْ أَفْضَلُ مِمَّنْ وُلِدَ عَلَى الْإِسْلَامِ مِنْ أَوْلَادِهِمْ وَغَيْرِ أَوْلَادِهِمْ
Anggapan sebagian orang yang menyangka bahwa seorang yang terlahir dalam keadaan Islam kemudian wafat dalam keadaan muslim lebih baik dari seorang kafir yang kemudian berislam adalah tidak tepat. Bahkan yang menjadi tolok ukur dalam hal ini adalah akhir kesudahan dari orang tersebut. Siapa di antara mereka yang lebih bertakwa kepada Allah di penghujung hidupnya, maka dialah yang lebih utama daripada yang lain. Sudah mafhum, bahwa golongan Muhajirin dan Anshar adalah mereka yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya setelah memeluk kekafiran, meski demikian mereka lebih utama ketimbang anak-anak mereka atau orang lain yang terlahir dalam keadaan Islam.
بَلْ مَنْ عَرَفَ الشَّرَّ وَذَاقَهُ ثُمَّ عَرَفَ الْخَيْرَ وَذَاقَهُ فَقَدْ تَكُونُ مَعْرِفَتُهُ بِالْخَيْرِ وَمَحَبَّتُهُ لَهُ وَمَعْرِفَتُهُ بِالشَّرِّ وَبُغْضُهُ لَهُ أَكْمَلَ مِمَّنْ لَمْ يَعْرِفْ الْخَيْرَ وَالشَّرَّ وَيَذُقْهُمَا كَمَا ذَاقَهُمَا ؛ بَلْ مَنْ لَمْ يَعْرِفْ إلَّا الْخَيْرَ فَقَدْ يَأْتِيهِ الشَّرُّ فَلَا يَعْرِفُ أَنَّهُ شَرٌّ فَإِمَّا أَنْ يَقَعَ فِيهِ وَإِمَّا أَنْ لَا يُنْكِرَهُ كَمَا أَنْكَرَهُ الَّذِي عَرَفَهُ
Bahkan, seorang yang mengenal keburukan dan pernah melakukannya kemudian mengenal kebaikan dan melaksanakannya, terkadang pengenalan dan kecintaannya terhadap kebaikan serta pengenalan dan keburukannya terhadap keburukan, lebih sempurna daripada orang yang tidak mengetahui serta merasakan kebaikan dan keburukan (meski terlahir dalam keadaan Islam). Bahkan, seorang yang hanya mengenal kebaikan terkadang keburukan mendatanginya dan dia pun tidak tahu bahwa itu adalah keburukan. Dengan demikian, bisa jadi dia terjerumus ke dalam keburukan tersebut dan bisa jadi dia tidak mengingkarinya sebagaimana pengingkaran yang akan dilakukan oleh orang yang telah mengenalnya.

Sabtu, 11 Agustus 2012

Apakah Muhammadiyah Memiliki Mahzab


Benarkah Muhammadiyah Tidak Bermahzab Iftitâh

Agama – yakni agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. – ialah apa yang diturunkan oleh Allah di dalam al-Quran dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat. (Himpunan Putusan Tarjih, 1987: 276)Pernyataan di atas menjadi penting untuk dicermati, karena di dalam terdapat isyarat bahwa Muhammadiyah tidak pernah berkeinginan untuk mengikatkan diri dengan mazhab tertentu, karena semua produk pemahaman keislaman Muhammadiyah digagas dan dirujuk secara langsung melalui sumber otentik (pemahaman atas ayat-ayat al-Quran dan Sunnah yang shahih).Tetapi, benarkah Muhammadiyah tidak bermazhab sama sekali dan bahkan tidak terpengaruh oleh pemikiran mazhab (utamanya mazhab – fikih – empat: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah)?
Tulisan ini diasumsikan akan menjelaskan asumsi kebermazhaban dan ketidakbermazhaban Muhammadiyah, utamanya dalam masalah Fikih.



Selasa, 07 Agustus 2012

AKIDAH ISLAM DAN KEISTIMEWAANNYA


A.      Pengertian Aqidah Islam
Akidah Islam merupakan dua kata yang berbeda arti dan berbeda pula pengertian, namun saling berkaitan ketika digabungkan. Maka dari itu penulis ingin mengurai terlebih dahulu mengenai pengertian Aqiidah.
Aqidah secara etimologi berarti “keyakinan”. Keyakinan yang dimaksud adalah keyakinan kepada Allah Swt. Sebagai pencipta (Khalid) illah ( yang diperTuhan) seluruh makluk, khususnya jin dan manusia dan yang lebih khusus terhadap manusia. Selain itu, keyakinan bahwa Allah SWT. Sang pengatur (rabb) atas makluknya, ia juga raja dari kerajaan semua alam makhluk, dan sebagainya.
Sedangkan menurut bahasa Aqidah berasal dari bahasa arab: ‘aqada – ya’qidu – uqdatan – wa’aqidatan. Artinya ikatan atau perjanjian, maksudnya sesuatu yang menjadi tempat bagi hati dan hati nurani terikat kepadanya.

Hadist Tentang Kepemimpinan


Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang imam (amir) pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang isteri pemimpin dan bertanggung jawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang pelayan (karyawan) bertanggung jawab atas harta majikannya. Seorang anak bertanggung jawab atas penggunaan harta ayahnya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Sesungguhnya seorang pemimpin itu merupakan perisai, rakyat akan berperang di belakang serta berlindung dengannya. Bila ia memerintah untuk takwa kepada Allah azza wa jalla serta bertindak adil, maka ia akan memperoleh pahala. Namun bila ia memerintah dengan selainnya, maka ia akan mendapatkan akibatnya
Pemimpin suatu kaum adalah pengabdi (pelayan) mereka. (HR. Abu Na’im)
Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi suatu kaum maka dijadikan pemimpin-pemimpin mereka orang-orang yang bijaksana dan dijadikan ulama-ulama mereka menangani hukum dan peradilan. Juga Allah jadikan harta-benda di tangan orang-orang yang dermawan. Namun, jika Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum maka Dia menjadikan pemimpin-pemimpin mereka orang-orang yang berakhlak rendah. DijadikanNya orang-orang dungu yang menangani hukum dan peradilan, dan harta berada di tangan orang-orang kikir. (HR. Ad-Dailami)
Barangsiapa membaiat seorang imam (pemimpin) dan telah memberinya buah hatinya dan jabatan tangannya maka hendaklah dia taat sepenuhnya sedapat mungkin. (HR. Muslim)
Hendaklah kamu mendengar, patuh dan taat (kepada pemimpinmu), dalam masa kesenangan (kemudahan dan kelapangan), dalam kesulitan dan kesempitan, dalam kegiatanmu dan di saat mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan sekalipun keadaan itu merugikan kepentinganmu. (HR. Muslim dan An-Nasaa’i)
Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai. (HR. Ath-Thabrani)
Hadis riwayat Abdurrahman bin Samurah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. berkata kepadaku: Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta kepemimpinan. Sesungguhnya jika kamu diberikan kepemimpinan melalui permintaan, kamu akan dibebani tanggung jawab sepenuhnya dan jika kamu diberikan kepemimpinan itu tidak dengan permintaan, maka kamu akan dibantu memikul tanggung jawab kepemimpinan itu. Jika kamu telah bersumpah, kemudian melihat sesuatu lain yang lebih baik dari sumpahmu, maka hendaklah kamu membayar kafarat sumpahmu lalu laksanakanlah sesuatu yang lebih baik itu