Apakah Muhammadiyah Memiliki Mahzab
Benarkah
Muhammadiyah Tidak Bermahzab Iftitâh
Agama – yakni agama
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. – ialah apa yang diturunkan oleh
Allah di dalam al-Quran dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa
perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia
di Dunia dan Akhirat. (Himpunan Putusan Tarjih, 1987: 276)Pernyataan di atas
menjadi penting untuk dicermati, karena di dalam terdapat isyarat bahwa
Muhammadiyah tidak pernah berkeinginan untuk mengikatkan diri dengan mazhab
tertentu, karena semua produk pemahaman keislaman Muhammadiyah digagas dan dirujuk
secara langsung melalui sumber otentik (pemahaman atas ayat-ayat al-Quran dan
Sunnah yang shahih).Tetapi, benarkah Muhammadiyah tidak bermazhab sama sekali dan bahkan tidak terpengaruh oleh
pemikiran mazhab (utamanya mazhab – fikih – empat: Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah)?
Tulisan ini diasumsikan
akan menjelaskan asumsi kebermazhaban dan ketidakbermazhaban Muhammadiyah,
utamanya dalam masalah Fikih.
Makna
Mazhab dan Bermazhab
Secara etimologis kata
mazhab berasal dari bahasa Arab zahaba, yang berarti pergi. Dengan demikian,
kata mazhab berarti tempat pergi. Sedangkan secara terminologis, mazhab berarti
pendapat, kelompok, aliran yang pada mulanya merupakan pendapat atau hasil
ijtihad seorang imam dalam memahami suatu masalah, baik menyangkut masalah
teologi, tasawuf, filsafat, politik maupun fikih. Dalam perkembangannya, kata
mazhab mengalami penyempitan makna yang semula menyangkut semua aspek ajaran
Islam, belakangan hanya menyangkut hukum Islam (fikih).Dalam konteks fikih,
istilah mazhab mencakup dua pengertian. Pertama, mazhab adalah jalan pikiran
atau metode yang ditempuh oleh seorang imam mujtahid dalam menetapkan hukum
suatu peristiwa berdasarkan al-Quran dan al-hadis. Pengertian ini lebih
menekankan mazhab dalam konteks ushul al-fiqh. Kedua, mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid
tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Quran dan al-hadis.
Pengertian ini lebih menekankan dalam konteks hasil pemikiran atau fiqh.
Dengan demikian, mazhab
adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam
memecahkan masalah atau meng-istinbath-kan hukum Islam. Selanjutnya mazhab pengertiannya berkembang
menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath imam mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat
imam mujtahid tentang masalah hukum Islam.
Pada dasarnya kemunculan
mazhab-mazhab dalam Islam merupakan sesuatu yang wajar mengingat al-Quran dan
al-sunnah memang memberi peluang munculnya berbagai penafsiran
(multi-interpretasi), karena di dalamnya banyak sekali terkandung ayat yang zanni
al-dalalah (ayat yang penafsirannya
tidak pasti) seperti adanya lafalmusytarak (mempunyai makna ganda), majaz (metafor/makna kiyasan), ‘am-khash (umum dan
khusus) dan sebagainya. Secara lebih rinci, Abu Zahrah, seorang ahliushul al-fiqh, menjelaskan bahwa munculnya mazhab-mazhab
dalam Islam dikarenakan beberapa hal: (1) perbedaan pemikiran. Perbedaan ini
bisa karena pengetahuan yang berbeda, bisa juga karena konteks sosial
masing-masing imam yang berbeda; (2) ketidakjelasan masalah yang menjadi tema
pembahasan; (3) perbedaan kesenangan dan kecenderungan; (4) perbedaan sudut
pandang; (5) karena mengikuti cara pandang pendahulunya; (6) perbedaan
kemampuan; (7) masalah kepemimpinan dan kecintaan kepada penguasa; (8)
fanatisme kelompok yang berlebihan.
Munculnya mazhab juga
tidak dapat dilepaskan dari dinamika dan perkembangan sejarah Islam sepeninggal
Rasulullah s.a.w. yang kemudian menghadapkan umat Islam dengan berbagai
realitas (kenyataan) baru yang tidak ditemui sebelumnya. Pertama, semakin
luasnya wilayah kekuasaan Islam hingga ke luar semenanjung Arabia. Kedua,
pergaulan kaum muslimin dengan bangsa-bangsa lain yang ditaklukkannya, terutama
yang berkaitan dengan adat-istiadat dan tradisi bangsa tersebut. Ketiga, akibat
jauhnya wilayah-wilayah yang ditaklukkan itu dengan pusat kekuasaan Islam,
sehingga memaksa para gubernur, hakim dan para ulama melakukan ijtihad untuk
menjawab masalah-masalah baru yang belum pernah ditemui sebelumnya.Satu hal yang perlu
digarisbawahi, meskipun dalam Islam terjadi perbedaan pendapat yang kemudian
melahirkan mazhab, namun perbedaan tersebut hanya terjadi pada masalah-masalah
furu’ (cabang), tidak sampai kepada ajaran Islam yang pokok (ushul) terutama
yang berkaitan dengan paham tauhid. Atas dasar itu, perbedaan tersebut lebih
tepat dipandang sebagai dinamika (perkembangan) pemikiran daripada sebagai
perpecahan.Dalam sejarah
perkembangan hukum Islam (Tarikh Tasyri’ al-Islami) hingga kini sudah muncul tiga belas mazhab fikih dalam Islam,
namun yang terkenal dan melembaga ada sembilan. Mereka dikenal sebagai
tokoh-t.okoh yang meletakkan dasar metode pemahaman fiqh yang kemudian diikuti
oleh generasi sesudahnya. Mereka adalah:
1. Imam Abu Sa’id
al-Hasan bin Yasar al-Bashri (w. 110 H)
2. Imam Abu Hanifah al-Nu’man (w. 150 H)
3. Imam al-Auza’i Abu Amr bin Muhammad (w. 157 H)
4. Imam Sufyan bin Sa’id bin Masraq al-Tsauri (w. 160 H)
5. Imam al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H)
6. Imam Malik bin Anas al-Asybahi (w. 179 H)
7. Imam Sufyan bin Uyainah (w. 198 H)
8. Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (w. 204 H)
9. Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)Dalam perkembangannya,
mazhab-mazhab tersebut ada yang berkembang dengan pesat dan dianut di berbagai
belahan dunia Islam, dan ada juga yang surut bahkan hilang karena kurang
mendapat pengikut seperti mazhab yang dirintis Imam Daud bin Ali al-Asbahani
al-Bagdadi (w. 270 H) yang sering disebut mazhab Zahiry, Ishaq bin Rahawaih (w.
238 H), Abu’Amr Abd al-Rahman bin Muhammad al-Auza’iy atau mazhab Auza’iy,
Mazhab al-Thabari (w. 320 H), Mazhab al-Laits yang dibina oleh Abu Haris
al-Laits bin Sa’ad al-Fahmi (w. 174 H) dan sebagainya.Mazhab yang terus
berkembang hingga sekarang dan masih banyak diikuti umat Islam hanya empat
mazhab, yaitu:1. Mazhab Hanafi
yang rintis oleh Imam Abu Hanifah (w. 150 H). Pemikiran hukum mazhab ini
bercorak rasional (ahl al-ra’yu).
Hal ini disebabkan karena mazhab bermula di Kufah (Irak) yang terletak jauh
dari Madinah. Irak, sebelum Islam, adalah pusat kebudayaan, tempat bertemu dan
berkembangnya filsafat Yunani dan Persia. Setelah Islam, Irak menjadi pusat
berkembangnya berbagai aliran politik, ilmu kalam dan fikih seperti Syi’ah,
Khawarij dan Mu’tazilah. Pada masa Abu Hanifah, Kufah menjadi salat satu pusat
aktifitas fikih para mujtahid generasi tabi’it tabi’in. Sebelum generasi
tabi’in, Kufah menjadi tempat Abdullah bin Mas’ud (w. 32 H) yang dikirim oleh
khalifah Umar bin Khattab (w. 644 M) untuk mengajarkan Islam dan memutuskan
masalah-masalah hukum. Pendekatan dan metode yang digunakan untuk memecahkan
hukum adalah dengan ra’yu (pendapat/nalar) karena ia sangat ketat dalam
menerima hadis, analogi (qiyas), dan istihsan (qiyas khafi). Mazhab Hanafi terkenal
sangat ketat untuk menerima hadis karena pada masa itu banyak muncul
hadis-hadis palsu seiring dengan perpecahan politik yang dialami umat Islam.
Banyak hadis yang diciptakan kelompok tertentu untuk mendukung kepentingan
politiknya masing-masing. Mazhab ini banyak berkembang di Mesir, Suriah,
Libanon, Turki, Tunisia, Turkistan, India, Pakistan, Afganistan, Balkan, Cina,
Rusia dan Irak.
2. Mazhab
Maliki yang didirikan oleh Imam Malik bin Anas (179 H). Pemikiran mazhab ini
banyak dipengaruhi oleh sunnah yang cenderung tekstual. Imam Malik termasuk
periwayat hadis, karyanya yang paling monumental adalah al-Muwaththa’(kumpulan hadis yag bercorak fiqh). Dalam
merumuskan hukum-hukum yang bersumber dari al-Quran dan al-hadis, Imam Malik
menggunakan metode sebagai berikut: a) tidak seketat Abu Hanifah dalam menerima
hadis. Jika Abu Hanifah hanya menerima hadis kalau hadis itu mutawatir atau
paling tidak pada tingkatan masyhur, Imam Malik hanya menerima hadis ahad
bahkan hadis ahad yang mursal asal periwayatannya orang yang terpercaya. Hadis
ahad juga lebih diutamakan daripada qiyas, sehingga ia lebih banyak menggunakan
hadis daripada ra’yu; b) ‘Amal ahl al-Madinah (praktik masyarakat Madinah), karena mereka
dianggap orang yang paling tahu tentang al-Quran dan penjelasan-penjelasan
Rasulullah; c) Pernyataan sahabat (qaul al-shahabi). Menurut Imam Malik, jika tidak ada hadis
sahih dari Nabi saw yang dapat digunakan untuk memecahkan suatu masalah, maka
pernyataan sahabat dapat dijadikan sumber hukum. Pendapat ini didasarkan pada
pandangan bahwa para sahabat lebih memahami pengertian yang tersirat maupun
tujuan ayat, karena mereka menyaksikan sendiri turunnya al-Quran dan mendengar
langsung penjelasan Rasulullah s.a.w.) Al-Mashlahat al-Mursalah, yaitu mempertimbangkan kepentingan umum
terhadap suatu permasalahan hukum yang secara eksplisit tidak terdapat dalam
al-Quran dan al-hadis baik yang mendukung maupun yang menolak. Tujuannya adalah
untuk menarik kemanfaatan (jalb al-manfa’ah) dan menghindari madarat (daf’ al-madharrah); e) Al-zari’ah, yaitu mempertimbangkan
perkataan dan perbuatan yang menyebabkan terjadinya perbuatan lain. Perbuatan
yang mengantarkan pada perbuatan haram, hukumnya haram, sedang perbuatan yang
mengantarkan pada perbuatan halal hukumnya juga halal; f) Qiyas. Apabila suatu
masalah tidak ditemukan ketentuannya dalam al-Quran, al-hadis, perkataan
sahabat atau ijma’ ahl al-Madinahmaka Imam Malik memutuskan masalah tersebut dengan qiyas, yaitu
menyemakan suatu peristiwa yang belum ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu
yang jelas hukumnya karena keduanya ada persamaan illat. Mazhab Maliki ini
tersebar dan diikuti di berbagai wilayah seperti Tunisia, Aljazair, Maroko,
Spanyol dan Mesir.
3
Mazhab Syafi’i yang didirikan oleh Abu Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i
(w. 204 M). Metode dan pendekatan yang digunakan untuk meng-istinbath-kan hukum
adalah: a) al-Quran dan al-hadis merupakan sumber pokoknya sebagaimana
mazhab-mazhab lain meskipun cara pandang mereka terhadap kedua sumber tesebut
seringkali berbeda. Menurut Imam Syafi’i, al-Quran dan hadis mutawatir berada
dalam satu martabat, karena sunnah berfungsi untuk menjelaskan al-Quran.
Keduanya adalah wahyu meskipun kekuatan sunnah secara terpisah tidak sekuat
al-Quran; b) Ijma’. Ijma’ yang dimaksud Imam Syafi’i adalah kesepakatan ulama
suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan ijma’ di satu negeri saja dan bukan
ijma’ kaum tertentu saja; c) Qiyas, yaitu menyamakan hukum suatu masalah yang
tidak ada ketentuannya dalam nas dengan hukum yang ada dalam nas karena adanya
persamaan illat. Mazhab Syafi’iyah ini berkembang di negara-negara seperti
Mesir, Suriah, Yaman, Indonesia, Malaysia, Makkah, Arab Selatan, Bahrain,
Afrika Timur dan Asia Tengah.4. Mazhab
Hanbali atau Hanabilah didirikan oleh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (w. 241 M).
Selain berdasar al-Quran dan sunnah dan pendapat sahabat, ia juga menggunakan
hadis mursal dan hadis dha’if (dalam tingkatan hasan asal perawinya tidak
pembohong); qiyas jika terpaksa (‘inda “arrah). Mazhab ini banyak berkembang
di Irak, Mesir, Suriah, Palestina dan Arab Saudi. Dari berbagai mazhab yang
ada, karakteristik penafsiran mazhab-mazhab tersebut dapat disederhanakan
menjadi dua kecenderungan besar, yaitu ahl al-ra’y dan ahl al-hadis. Para ahli hukum Iraq seperi Imam Abu Hanifah,
karena berbagai alasan, dianggap terlalu ketat dalam menerima hadis sebagai
dasar hukum, sehingga lebih banyak menggunakan akal . Sedang ulama Hijaz
seperti Imam Malik bin Anas lebih longgar untuk menerima hadis sebagai dasar
hukum, meskipun hal ini tidak berarti mereka menolak akal sama sekali.
Manna’ al-Qaththan,
penulis buku Tarikh Tasyri’ al-Islami, memberi penjelasan lebih lanjut mengenai
perkembangan ahl al-ra’y dan ahl al-hadis. Dalam kaitan perkembangan ahl al-ra’y di Iraq, dia memberi bebapa penjelasan: 1)
Tasyi’ di Iraq dipengaruhi oleh pemikiran rasional Ibnu Mas’ud sebagaimana
telah disinggung di atas; 2) Hadis yang berkembang di Iraq lebih sedikit
jumlahnya dibanding hadis yang berkembang di Hijaz. Sementara
permasalahan-permasalahan hukum yang berkembang di Iraq jauh lebih kompleks; 3)
Fuqaha’ Iraq berhadapan dengan orang-orang Parsi yang sudah mempunyai peradaban
dan kemampuan berfikir maju. Keadaan ini dapat mendorong munculnya
permasalahan-permasalahan hukum baru yang belum ditemukan ketentuannya pada
masa Nabi saw; 4) Iraq merupakan tempat tinggal kebanyakan orang-orang Syi’ah
dan Khawarij sebagai imbas (akibat) dari perpecahan politik yang terjadi dalam
Islam. Perpecahan tersebut segera diikuti debat teologis untuk melegalisasi
(mengesahkan) kelompoknya masing-masing yang sering pula diikuti dengan
penciptaan hadis-hadis palsu. Kondisi ini ikut mendorong Iraq untuk lebih
selektif dalam menerima hadis.
Sedangkan berkembangnya
aliran ahl al-hadis di Hijaz dikarenakan beberapa hal: 1) Pengaruh dari metode yang
menekankan pada hadis sementara mereka menjauhkan diri dari penggunaan akal dan
qiyas kecuali dalam kondisi yang sangat terpaksa; 2) Hijaz merupakan gudang
hadis dan praktik sahabat karena di daerah inilah Nabi saw bermukim dan
menyampaikan ajarannya; 3) Di Hijaz tersebut sedikit sekali ditemukan problem
hukum yang menuntut kreativitas berfikir, karena mereka jauh dari pengaruh
Parsi dan Romawi; 4) Hijaz jauh dari tempat munculnya fitnah dan pertentangan
keagamaan. Atas dasar alasan-alasan tersebut tidak mengherankan jika di kedua
wilayah yang menjadi pusat perkembangan hukum Islam tersebut menampakkan corak
yang berbeda.
Dalam pandangan umat
Islam pada umumnya, bermazhab sering dibedakan dengan berijtihad. Bermazhab
sering diidentikkan dengan melakukan taqlîd (mengikuti tanpa mengetahui sebab).
Sehingga, ada kesan
bahwa bermazhab tidak memerlukan ijtihad, tidak menyentuh kekinian, dan
menjadikan masa lalu sebagai “doktrin” dan “dogma” agama. Demikian halnya,
berijtihad tidak perlu mengikuti pendapat ulama masa lalu, hanya mengandalkan
potensi akal untuk melihat kenyataan hari ini saja. Kedua polarisasi itu perlu
direformasi dengan menghadirkan konsep baru dalam berijtihad dan bermazhab.Bermazhab tidak identik
dengan bertaklid buta. Masih dapat disebut bermazhab walaupun tetap menjalankan
ijtihad, terutama sekali dalam kasus-kasus kontemporer. Dan lebih dari itu,
masih disebut bermazhab meskipun juga berupaya mengembangkan metodologi (manhaj) yang sangat mungkin akan menimbulkan banyaknya
perbedaan pendapat.
Pada hakikatnya,
bermazhab tidak harus mengikuti pendapat Imam mazhab dari kata-perkata (fil aqwal), namun bisa dalam metodologinya (fil manhaj). Bermazhab secara metodologis, misalnya kepada
para imam mazhab (empat): Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i atau Ahmad
bin Hanbal, akan berimplikasi pada kemungkinan perbedaan pendapat dengan para
imam mazhab tersebut.
Dalam mengembangkan
metodologi bermazhab, perlu menciptakan metode dalam berijtihad baru yang
diakui secara akademik dan terjadinya kesinambungan dari proses berijtihad
sekaligus hasil pemikiran ulama masa lalu (historical continuity). Seorang mujtahid juga sekaligus seorang mujaddid (pembaharu) yang tengah melakukan pembaharuan
fiqih atau hukum Islam dan pengembangan metodologi ilmu-ilmu keislaman
disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Produk pemahaman agama
lebih melihat kebutuhan umat pada masa kini dengan tidak meninggalkan tradisi
ulama masa lalu. Kita mungkin sering mendengar klaim universalisme Islam yang
sering dikemukakan bahwa Islam adalah sebagai agama yang rahmatan lil
‘âlamin dan juga kaedah ushûl fiqh: al-syariah
al-Islâmiyyah shalihah li kulli zamânin wa makânin atau al-syariah al-Islâmiyyah li mashlahat
al-‘ibâd fi al-dârain (syariat
Islam adalah untuk memenuhi kemaslahatan manusia dunia dan akhirat). Artinya,
Islam akan selalu berkait-berkelindan dengan kemajuan zaman. Untuk
merealisasikan klaim-klaim tersebut maka perlu menyegarkan kembali ajaran agama
(ilahi) yang dihubungkan dengan persoalan-persoalan baru yang muncul. Oleh
sebab itu, konsep mengenai bermazhab dan berijtihad perlu direformasi.
Sehingga, Islam selalu segar dan sesuai dengan perkembangan zamannya.
Rumusan yang tepat untuk
menghubungkan antara tradisi (bermazhab dan berijtihad) dan perubahan
(kekinian) adalah al-muhâfazhatu ‘ala al-qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bil
jadîd al-ashlah (memelihara yang lalu
yang masih relevan dan mengambil yang baru yang lebih baik). Sehingga, tawaran
gagasan ijtihad menjadi formulasi metodologis yang dapat dibentuk sebagai hasil
kajian kritis terhadap konsep bermazhab dan berijtihad secara konvensional yang
dipadukan dengan tuntutan zaman dan pertanggung jawaban akademik.
Istilahnya adalah modern
scientific ijtihad (al-ijtihad al-’ilmi
al-’ashri). “Ijtihad” bisa
dilakukan secara tematis, tidak harus ke dalam seluruh aspek kehidupan. Al-’ilmiberarti bahwa berijtihad menggunakan prosedur
keilmuan (filsafat ilmu, studi kritis, dan semacamnya), seperti yang terjadi
dalam dunia pengetahuan umumnya.
Sedangkan al-’ashri dimaksudkan agar mengacu pada masa kini dan masa
depan, tidak hanya terhenti pada lalu dan masa kini. Untuk mewujudkan formulasi
ijtihad modern yang mampu memberikan jawaban masa kini dan diharapkan juga
untuk masa yang akan datang, diperlukan beberapa langkah.
Pertama, lebih mementingkan atau mendahulukan sumber
primer (primary sources) dalam sistem bermazhab atau dalam menentukan rujukan.
Kedua, berani mengkaji pemikiran ulama atau hasil
keputusan hukum Islam dengan tidak lagi secara doktriner dan dogmatis. Namun,
perlu menyertakan studi kritis (critical study) sebagai sejarah pemikiran (intellectual history) dalam menganalisa latar belakang pemikiran
atau hukum tersebut.
Ketiga, memposisikan semua hasil karya ulama masa lalu
sebagai pengetahuan (knowledge),
baik yang dihasilkan atas dasar deduktif maupun secara empirik. Dengan catatan
bahwa keberadaan teks al-Quran dan teks hadis yang terbatas (khususnya yang
mutawatir) tidak dapat diuji ulang (re-examined).
Keempat, perlu ada sikap terbuka terhadap dunia luar
dan bersedia mengantisipasi terhadap hal-hal yang akan terjadi dengan tidak
menggunakan sikap asal-tidak setuju (apriori).
Kelima, hendaknya mempunyai daya tanggap yang
meningkat dan cepat dalam merespon permasalahan yang muncul.
Untuk itulah, diperlukan
jaringan atau organisasi yang mampu mempertemukan di antara fuqaha’ untuk sama-sama menanggapi masalah yang ada.
Keenam, penafsiran yang aktif dan bahkan juga
progresif, yaitu jawaban hukum Islam yang juga sekaligus mampu memberi
inspirasi untuk kehidupan yang dialami umat.
Ketujuh, ajaran al-ahkâm al-khamsah atau hukum Islam berupa wajib, haram, sunnah,
makruh, dan mubah agar dapat dijadikan konsep atau ajaran etika sosial.
Kedelapan, menjadikan ilmu fikih (‘ilm al-fiqh) sebagai bagian dari ilmu hukum secara umum,
yaitu memposisikan bahasa ilmu fikih yang mencakup masalah-masalah kehidupan
umat yang sama dengan materi atau objek kajian dalam ilmu hukum pada umunya.
Kesembilan, mendekati fikih yang juga berorientasi pada
kajian induktif atau empirik, di samping deduktif. Pendekatan induktif
dimaksudkan sebagai penyertaan peran akal pada posisi yang sangat penting dalam
membantu mewujudkan hasanah fi al-dunyadan hasanah fi al-âkhirah.
Kesepuluh, hendaknya menjadikan konsep mashalih ‘ammah menjadi landasan penting dalam mewujudkan fiqih
atau hukum Islam.
Kesebelas, menjadikan wahyu Allah lewat nushûsh
al-Qurân wa as-sunnah al-shahîhah (teks-teks al-Quran dan sunnah yang shahih) sebagai kontrol
terhadap hal-hal yang akan dihasilkan dalam ijtihad. Kontrol yang dimaksud
lebih menekankan pada konsep etika dengan mengacu pada al-mashâlih
al-’ammah.
Konsep baru dalam
bermazhab dapat dinyatakan dengan pernyataan penting: “siapa pun boleh
bermazhab tanpa kehilangan ruh ijtihad. Dan siapa pun yang berijtihad tidak
dilarang untuk bermazhab tanpa harus terikat dengan metode dan pendapat para
imam mazhab.
Memahami
Muhammadiyah Melalui Pemikiran KeagamaannyaKHA. Dahlan memahami
bahwa al-Quran adalah sumber utama yang menjadi rujukan baku untuk siapa pun, di
mana pun dan kapan pun dalam ber-(agama)-Islam. Konsep normatif Islam sudah
tersedia secara utuh di dalamnya (al-Quran) dan sebegitu rinci dijelaskan oleh
Rasulullah s.a.w. di dalam sunnahnya, baik yang bersifat qaulî, fi’lî dan
taqrîrî. Hanya saja apa yang dikerjakan oleh Rasulullah s.a.w. perlu
diterjemahkan ke dalam konteks yang berbeda-beda, dan oleh karenanya
“memerlukan ijtihad”.Ijtihad dalam
ber-(agama)-Islam bagi KHA. Dahlan adalah “harga mati”. Yang perlu dicatat
bahwa Dia menganjurkan umat Islam untuk kembali kepada al-Quran dan
as-Sunnah secara kritis. Ia menyayangkan sikap taqlid umat Islam terhadap apa
dan siapa pun yang pada akhirnya menghilangkan sikap kritis. Ia sangat
menganjurkan umat Islam agar memiliki keberanian untuk berijtihad dengan
segenap kemampuan dan kesungguhannya, dan dengan semangat untuk kembali kepada
al-Quran dan as-Sunnah ia pun ingin merombak sikap taqlid menjadi – minimal –
menjadi sikap ittiba’. Sehingga muncullah kolaborasi antara para Mujtahid dan
Muttabi’ yang secara sinergis membangun Islam Masa Depan, bukan Islam Masa
Sekarang yang stagnant (jumud, berhenti pada kepuasaan terhadap apa yang sudah
diperoleh), apalagi Islam Masa Lalu yang sudah lapuk dimakan zaman. Semangatnya
mirip dengan Muhammad Abduh: “al-Muhâfadhah ‘Alâ al-Qadîm ash-Shâlih wa al-Akhdzu bi al-Jadîd al-Ashlah”
Prinsip-prinsip
Utama Pemahaman (Agama) Islam
Muhammadiyah
memperkenalkan dua prinsip utama pemahaman (agama) Islam:1.
Ajaran agama Islam yang otentik (sesungguhnya) adalah apa yang
terkandung di dalam al-Quran dan as-Sunnah dan bersifat absolut. Oleh karena
itu, semua orang Islam harus memahaminya.
2.
Hasil pemahaman terhadap al-Quran dan as-Sunnah yang kemudian
disusun dan dirumuskan menjadi kitab ajaran-ajaran agama (Islam) bersifat
relatif.
Dari kedua prinsip utama
tersebut, pendapat-pendapat Muhammadiyah tentang apa yang disebut doktrin agama
yang dirujuk dari al-Quran dan as-Sunnah selalu (dapat) berubah-ubah selaras
dengan kebutuhan dan tuntutan perubahan zaman. Hal ini bukan berarti Muhammadiyah
tidak bersikap istiqamah dalam beragama, tetapi justeru memahami arti
pentingnya ijtihad dalam menyusun dan merumuskan kembali pemahaman agama
(Islam) sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Quran dan as-Sunnah. Dipahami
oleh Muhammadiyah bahwa al-Quran dan as-Sunnah bersifat tetap, sedang
interpretasinya bisa berubah-ubah. Itulah konsekuensi keberagamaan umat Islam
yang memahami arti universalitas kebenaran ajaran agama yang tidak akan pernah
usang dimakan zaman dan selalu selaras untuk diterapkan di mana pun, kapan pun
dan oleh siapa pun.
Mengamalkan
al-Quran dan as-Sunnah
Untuk memahami al-Quran
– menurut Muhammadiyah – diperlukan seperangkat instrumen yang menandai
kesiapan orang untuk menafsirkannya dan mengamalkannya dalam kehidupan nyata.
Semangatnya sama dengan ketika seseorang berkeinginan untuk memahami Islam,
yaitu: “ijtihad”.
Kandungan al-Quran hanya
akan dapat dipahami oleh orang yang memiliki kemauan dan kemampuan yang memadai
untuk melakukan eksplorasi dan penyimpulan yang tepat terhadap al-Quran.
Keikhlasan dan kerja keras seorang mufassir menjadi syarat utama bagi setiap
orang yang ingin secara tepat memahami al-Quran. Meskipun semua orang harus
sadar, bahwa sehebat apa pun seseorang, ia tidak akan dapat menemukan kebenaran
sejati, kecuali sekadar menemukan ‘kemungkinan-kemungkinan’ kebenaran absolut
al-Quran yang pada akhirnya bernilai “relatif”. Akhirnya, kita pun dapat
memahami dengan jelas sebenar apa pun hasil pemahaman orang terhadap al-Quran,
tafsir atasnya (al-Quran) tidak akan menyamai “kebenaran” al-Quran itu sendiri.
Karena al-Quran adalah “kebenaran ilahiah”, sedang “tafsir atas al-Quran”
adalah “kebenaran insaniah”. Akankah kita menyatakan bahwa Manusia akan
“sebenar” Tuhan? Jawaban tepatnya: “mustahil”. Oleh karena itu, yang dituntut
oleh Allah kepada setiap muslim hanyalah berusaha sekuat kemampuannya untuk
menemukan kebenaran absolut al-Quran, bukan “harus menghasilkan kebenaran
absolut”, karena kenisbian akal manusia tidak akan pernah menggapai kemutlakan
kebenaran sejati dari Allah.Ketika kita
berkesimpulan bahwa hasil pemahaman siapa pun, kapan pun dan di mana pun
terhadap al-Quran adalah relatif, maka alangkah bijaksananya bila kita rujuk
as-Sunnah sebagai panduan dalam beragama. Karena, bagaimanapun relatifnya hasil
pemahaman al-Quran, hasil interpretasi Rasulullah s.a.w. baik dalam bentuk
perkataan, tindakan dan taqrîr merupakan interpretasi atas al-Quran yang “terjamin” kebenarannya.
Asumsi ini didasarkan pada paradigma “’ishmah ar-rasûl”. Ada jaminan dari Allah bahwa Nabi Muhammad
s.a.w. akan selalu benar dalam berijtihad, karena setiap langkahnya akan selalu
diawasi oleh-Nya. Teguran atas kesalahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad
s.a.w. akan selalu dilakukan oleh Allah, dan hal itu tidak dijamin akan terjadi
pada selain Rasulullah s.a.w.
Persoalannya sekarang,
seberapa mungkin kita kita (umat Islam) berkemampuan untuk menerjemahkan
as-Sunnah dalam realitas kehidupan kita? Dan pola apakah yang paling tepat
untuk kita pilih? Ternyata kita pun sering terjebak pada ketidaktepatan dalam
menerjemahkannya (as-Sunnah), karena keterbatasan-keterbatasan yang kita
miliki. Kita pun sering melakukan kesalahan dalam memilih pola yang tepat untuk
memahami as-Sunnah. Mungkin terjebak pada kutub ekstrem “tekstual”, atau
“rasional” yang mengarah pada kontekstualisasi yang eksesif (berlebihan).Untuk itu, menurut
pendapat penulis, yang kita perlukan sekarang adalah: “membangun kearifan”
menuju pada “pemahaman yang sinergis dan seimbang”. Seperti – misalnya – apa
yang dilakukan dalam proyek besar pemasaran gagasan “Islam Kontekstual” yang
dilakukan – misalnya — oleh Yusuf al-Qaradhawi, dengan berbagai modifikasi yang
diperlukan.Berislam Secara DewasaMuhammadiyah selama ini
memperkenalkan Islam yang “arif”, yang dirujuk dari apa yang dikandung dalam
al-Quran dan as-Sunnah dengan memperkenalkan pola “istinbath” yang proporsional.
Muhammadiyah menyatakan
diri tidak bermazhab, dalam arti tidak mengikatkan diri secara tegas dengan
mazhab-mazhab tertentu baik secara qaulî maupun manhajî. Tetapi Muhammadiyah bukan berarti antimazhab.
Karena, ternyata dalam memahami Islam Muhammadiyah banyak merujuk pada pendapat
orang dan utamanya juga Imam-imam mazhab dan para pengikutnya yang dianggap “râjih” dan meninggalkan yang “marjûh”.
Pola pikir yang diperkenalkan
Muhammadiyah dalam memahami ajaran Islam adalah berijtihad secara: bayânî, qiyâsî dan ishtishlâhî. Yang ketiganya dipakai oleh Muhammadiyah
secara simultan untuk menghasilkan pemahaman Islam yang kontekstual dan
bersifat (lebih) operasional.
Ijtihâd bayânî dipahami sebagai bentuk pemikiran kritis
terhadap nash (teks) al-Quran maupun as-Sunnah; ijtihâd qiyâsî dipahami sebagai penyeberangan hukum yang telah
ada nashnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya
berdasarkan nash,
karena adanya kesamaan ‘illât; dan ijtihâd ishtishlâhî dipahami sebagai bentuk penemuan hukum dari
realitas-empirik berdasarkan pada prinsip mashlahah, karena tidak adanya nash yang dapat dirujuk dan tidak adanya kemungkinan
untuk melakukanqiyâsHasil pemahaman dari upaya
optimal dalam berijtihad inilah yang kemudian ditransformasikan ke dalam
pengembangan pemikiran yang — mungkin saja – linearatau berseberangan, berkaitan dengan tuntutan
zaman. Demikian juga dalam wilayah praksis, tindakan keberagamaan yang
ditunjukkan dalam sikap dan perilaku keagamaan umat Islam harus juga mengacu
pada kemauan dan kesediaan untuk melakukan kontekstualisasi pemahaman keagamaan
(Islam) yang bertanggung jawab. Tidak harus terjebak pada pada pengulangan dan
juga pembaruan, yang secara ekstrem berpijak pada adagium “purifikasi” dan
“reinterpretasi” baik yang bersifat dekonstruktif maupun rekonstruktif.
Sekali lagi, yang perlu
dibangun adalah: “kearifan” dalam berpikir, bersikap dan bertindak. Di mana
pun, kapan pun dan oleh dan kepada siapa pun. Sebab, keislaman kita adalah
“keislaman: yang harus kita pertaruhkan secara horisontal dan sekaligus
vertikal”.
Himpunan
Putusan Tarjih dan Mazhab Empat
Himpunan Putusan Tarjih
(selanjutnya disebut HPT) adalah hasil diskusi dan kesepakatan yang dihasilkan
melalui proses panjang dalam serangkaian pembahasan para ulama tarjih
(Muhammadiyah) dalam setiap pertemuan resmi, yang saat ini disebut dengan
Musyawarah Nasional (Munas).Hasil-hasil diskusi atau
pembahasan para ulama tarjih (Muhammadiyah) tersebut kemudian ditanfidzkan (dinyatakan keabsahan dan keberlakuannya)
oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang diasumsikan mengikat secara organisatoris
kepada seluruh jajaran pimpinan dan anggota Muhammadiyah.
Meskipun secara
eksplisit Muhammadiyah tidak pernah menyatakan bermazhab, tetapi dalam praktik
pembahasan atas masalah-keagamaan (utamanya: fikih) para ulama tarjih
(Muhammadiyah) sama sekali tidak bisa menghindar dari manhaj(metodologi) dan pendapat para imam mazhab
(termasuk imam mazhab empat) dan pengembangannya dalam berbagai ragam
pendapatnya.
Dengan mencermati
diktum-diktum putusan tarjih hingga saat ini, maka kita bisa melhat nuansa
mazhab dan bermazhabnya para ulama tarjih (Muhammadiyah), utamanya dalam
pengertian manhaji (metodologis). Karena – secara jelas – mereka menggunakan sejumlah
manhaj yang ditawarkan oleh para imam mazhab itu tanpa kecuali. Hanya saja,
para ulama tarjih tidak mau terjebak untuk mengikatkan diri pada manhaj dan
(apalagi) pendapat ulama mazhab tertentu.
Pola bermazhab seperti
itu, dalam khazanah pemikiran keislaman disebut dengan bermazhab dengan pola “talfiqi” (memadukan pemikiran antarmazhab), dengan
pertimbangan: “memilih yang paling layak untuk dipilih” secara proporsional.
Pemilihan metode “qiyas”, misalnya, jelas mengacu pada keberpihakan
keempat imam mazhab pada pendekatan ta’lili, yang secara lebih jelas diperkenalkan oleh
Imam asy-Syafi’i dan para pengikutnya. Sementara pemilihan metode “istihsan”, jelas mengacu pada Imam Abu Hanifah.
Sedangkan pemilihan metode “mashlahah mursalah” dengan berbagai ragam pengembangannya, jelas mengacu pada Imam
Malik. Dan diketika Muhammadiyah (melalui kajian tarjih) mengadopsi metode “istishhab”, maka secara tidak langsung juga mengakui
keberadaan mazhab Hanabilah, yang merujuk pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.
IhtitâmMuhammadiyah bukanlah
sebuah mazhab, dan tidak berkeinginan untuk menjadikan dirinya sebagai mazhab
baru. Tetapi, dalam perjalanan waktu temuan-temuan ijtihadnya bisa menjadi
model bagi siapa pun, utamanya warga Muhammadiyah untuk dirujuk menjadi panduan
dalam beragama, sehingga seolah-oleh menjadi mazbah baru.Dalam konteks mazhab dan
bermazhab, hal itu bukanlah suatu yang tabu bagi Muhammadiyah. Tetapi,
bagaimanapun juga kesediaan untuk bermazhab dan mengakui keberadaan mazhab
tidak akan pernah menjebak Muhammadiyah untuk mengikatkan diri para mazhab
tertentu, baik dalam pengertian manhaji apalagi qauli.
Jadi, Muhammadiyah
selamanya akan menempatkan diri sebagai kelompok terbuka untuk menerima,
menolak, mengakomodasi, menghargai, mengeritik dan menyempurnakan setiap
pemikiran keagamaan, (termasuk di dalamnya fikih), secara kritis, jujur
dan terbuka dan penuh empati kepada pemikiran siapa pun dan dari mazhab mana
pun dengan tetap konsisten untuk merujuk (kembali) kepada al-Qurandan as-Sunnah al-Maqbûlah.
Dan oleh karenanya
Muhammadiyah akan tetap berhimmah untuk menjadi “Yang Pertama dan Utama” untuk
menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai marja’(rujukan) dalam berislam secara kaffah dalam konteks tajdid (purifikasi dan pembaruan)
yang proporsional dan bertanggungjawab .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar